Ada yang ingat permainan congklak?
Di beberapa daerah, biasa juga disebut permainan dakon. Permainan itu yang kumain dengan anak gadisku hari minggu kemarin. Congklak termasuk jenis permainan yang mengandalkan ketelitian, perhitungan serta taktik jitu untuk mengumpulkan kerang sebanyak-banyaknya.
Aku tak akan membahas "pertempuranku" dengan anak gadis dalam permainan congklak. Namun menuliskan refleksiku, melihat reaksi anak gadisku, setelah melalui 10 babak, permainan congklak itu berakhir.
Saat itu, kerang yang dimiliki anak gadisku tersisa 6. Artinya, tak memenuhi syarat, satu lubang berisi 7 kerang, kan? Bagaimana reaksi anakku?
"Yeah, Ayah menang!"
"Tapi curang!"
"Eits! Tak perlu curang untuk jadi Pemenang, Nakdis!"
"Terus, tadi namanya apa?"
"Kan, cuma ngitung?"
"Ngitung itu curang, Yah!"
Tuh! Padahal, dalam permainan itu, kalau dalam pelajaran ilmu sosial waktu aku SMP dulu, mirip-mirip prinsip ekonomi, "dengan modal sekecil-kecilnya, medapatkan keuntungan sebesar-besarnya". Iya, kan? Kan?
Mungkin sedikit lebay, aku malah menyimpan sedikit kekhawatiran. Â Jika jenis permainan tradisional ini, mungkin bakal direkomendasikan kaum rebahan segera masuk museum purbakala. Alasannya?
Pertama. Permainan ini sudah teramat jarang kulihat dimainkan. Sama seperti jenis permainan tradisional lainnya, semisal bermain loncat kodok, lompat karet, main cabur, gangsing atau enggrang. Anak sekarang, tak siap dengan celetukan. "Hari gini, masih main gitu?"
Malah, beberapa tahun lalu kudengar, ada komunitas yang mengadakan kegiatan jamboree permainan tradisonal anak nusantara. Dengan jenis permainan dari bahan yang murah meriah dan mengikat kebersamaan, serta melati keterampilan plus kebugaran tubuh.
Kedua. Pemainan ini dianggap rumit, gegara banyak hitungan dan "rumus' ajaib. (apalagi jika bisa melangkah lebih dulu). Kalau ketemu lawan yang pintar bermain, jejangan kita hanya menunggu hingga melihat sisa-sisa kerang bertebaran di 12 lobang.
Emang masih ada anak sekarang yang betah menunggu? Padahal, itu juga bisa dijadikan belajar untuk ngantri, kan?
Ketiga. Permainan ini, tak bisa melakukan kesalahan atau kekeliruan. Resiko salah dan keliru, akan menguntungkan lawan serta berujung kekalahan. Kenapa? Karena transparan! Sebab, jumlah kerang di semua lubang, bisa diperhitungkan, sebelum dan sesudah melangkah.
Permainan congklak, sesungguhnya mengajarkan proses kemenangan yang diraih tidak tiba-tiba. Begitu juga kekalahan dan kesalahan yang dialami, akan diketahui dan tampak! Masih banyakkah anak sekarang yang menerima kalah dan salah diketahui orang lain? Kalau main gawai, kalah, salah dan tak puas tinggal restart, kan?
Terlepas dari tiga atasan menurutku. Karena tak puas. Maka aku telusuri sejarah dan makna permainan congklak, menggunakan Google. Namun ada satu artikel (di sini), yang kukira menarik jika kutuliskan ulang dengan beberapa pengembangan pada artikel ini.
Tak hanya papan 12 lubang sama besar yang terbagi dua lajur yang berisi 7 biji kerang, serta dua lubang besar (lumbung) yang terletak di kiri dan kanan papan congklak.Pun, bukan sekedar permainan biasa. Ternyata permainan congklak juga filosofis. Aku sarikan saja, ya?
Pertama. Langkah dihitung dan Tak Lupa Menabung.
Saat bermain, kita hanya boleh mengambil biji kerang dari satu lubang. Kemudian kita mesti mengisi lubang berikutnya sesuai urutan dan arah jarum jam termasuk lubang lumbung milik kita. Sebelum memutuskan melangkah dan mengambil biji kerang, mesti hiitungkan, biar tak mati, kan?
Ini bisa dimaknai, langkah yang kita lakukan hari ini akan menentukan langkah kita di masa depan. Dan, lubang lumbung, dianggap sebagai cadangan atau simpanan. Akan digunakan, ketika langkah kita dinyatakan berhenti (permainan berahir).
Kedua. Saling Memberi dan Menerima.
Tak hanya mengisi lubang milik kita, namun aturan permainan congklak juga mewajibkan kita mengisi lubang milik lawan (orang lain), kecuali lumbungnya. Lawan pun akan melakukan hal yang sama, tah?
Bayangkan jika hal ini terbiasa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari? Akan ada keseimbangan, kan? Toh, rumus take and give ini juga berlaku tak hanya sesama manusia, bisa juga pada hewan, tanaman atau seluruh alam. Jika ada keseimbangan, akan indah, kan?
Ketiga. Jujur, Berusaha dan butuh waktu.
Ketika memberi atau menerima biji kerang, pasti satu-satu, kan? Karena sifatnya tranparan, akhirnya memaksa kita berlaku jujur, kan? Kecurangan akan cepat diketahui. Tak hanya itu, perhitungan resiko langkah dilakukan, sebagai usaha untuk mengumpulkan isi lumbung terbanyak, kan?
Yang paling penting adalah, butuh waktu dan terkadang lama untuk mengumpulkan biji kerang sebanyak-banyaknya, sebagai tanda untuk memenangkan permainan.
Keempat. Berjuang dan Bertahan.
Dalam permaian congklak, ketika kita mengisi lubang lumbung sendiri, itu dimaknai. Bahwa setiap orang bertanggungjawab pada diri sendiri. Termasuk berjuang memenuhi kebutuhan pribadi. Apakah ini bermakna nafsi-nafsi dan individualis? Kan, aturan buat semua pemain sama?
Permainan ini menuntut keterampilan dan pemikiran setiap pemain untuk mempertahankan kerang yang dimiliki tidak dihabiskan lawan. Berjuang meraih dan mempertahankan yang sudah diraih, jadi nilai mahal dari permainan ini.
Terus?
Begitulah! Terlepas persoalan menang atau kalah. Permainan ini memiliki makna, siapa yang lebih sering memberi dan menerima (bermain dan matinya lama), yang paling banyak menabung dan mengerti strategi yang tepat
Kukira, nilai-nilai itu akan keren, jika dimiliki setiap orang, kan? Apalagi, ketika kerang di setiap lubang tinggal sedikit atau malah ada yang kosong. Butuh, keputusan cepat, tepat serta keberanian mengambil resiko, tah?
Seperti halnya, resiko yang siap aku terima. Saat menulis kronologi kekalahan anakku main congklak di akun facebook milikku. Semua komentar, nyaris membela anak gadisku!
"Jadi Ayah, kok gak mau ngalah?"
"Pasti Ayahnya curang!"
Zaldychan
[ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H