Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Lagu "Pulanglah Uda" dan Tradisi Merantau yang Alami Pergeseran Makna

19 Juni 2020   14:03 Diperbarui: 19 Juni 2020   14:11 885
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Uda kanduang di rantau urang

Pulanglah uda di tanah jao

Rindulah lamo indak basuo

Apo ka dayo

Pernah dengar lirik ini? Kuambil dari lagu Minang berjudul Pulanglah Uda, yang menceritakan tentang kerinduan dan penantian seorang gadis Minang pada sang pujaan hati yang pergi merantau.

Lagu ini ciptaan Syam Tanjung dan Yongki RM pertama dirilis tahun 1991, dinyanyikan  oleh Hetty Koes Endang. Artinya, sudah 29 tahun berlalu, lagu ini masih bertahan bahkan dibawakan dalam berbagai versi.

Mulai dari Ria Amelia, Judika hingga Trio Lapo pernah membawakan lagu ini. Penasaran? Sila nikmati di Youtube.  Hihi...

Kali ini, aku tak membahas tentang lagunya. Tapi mencoba mempraktekkan rumus "What if" yang kubaca di linimasa facebook Kang Pepih Nugraha (13/06/2020). Menurut pemilik akun itu, "What if" bermakna "bagaimana jika" atau "apa yang terjadi jika".

kesepian (sumber gambar : https://garudaonline.co)
kesepian (sumber gambar : https://garudaonline.co)
Kiramologi Rumus "What If" pada Lagu Pulanglah Uda (Wawancara Imajiner)

Menurut pengakuan Kang Pepih, "What If", adalah salah satu senjata rahasia membongkar "tembok" hampa ide dalam menulis.

Nah, secara bebas dan sambil berhayal, kugunakan rumus itu, gegara mendengarkan lagu Pulanglah Uda. Hingga, kucoba lontarkan 10 pertanyaan dalam wawancara imajiner dengan penciptanya. Aku tulis, ya?

Pertanyaan Pertama. Bagaimana awalnya lagu itu tercipta?

Senja itu, aku sedang duduk di bebatuan Bukit Lampu. 1 kilometer dari di Pelabuhan Teluk Bayur. Kulihat seorang gadis duduk menghadap laut. Matanya tak lepas memandang lampu-lampu perahu nelayan yang mulai menjauh dari pantai.

Pertanyaan Kedua. Terus, langsung nulis lagu?

Belum! Aku membayangkan. Gadis itu bukan menikmati cahaya jingga dengan lampu-lampu perahu atau debur ombak yang diterpa angin senja. Aku curiga, jejangan gadis itu sedang menunggu seseorang yang dicintai.

Pertanyaan Ketiga. Kenapa Anda berpikir gadis itu menunggu?

Kupastkan, karena rindu! Jika seseorang yang baru putus cinta, dia tak akan punya waktu untuk menunggu atau menikmati senja. Karena senja adalah pintu keluar-masuk kenangan, yang membuatnya kembali terluka.

Pertanyaan Keempat. Menunggu siapa? Kekasih atau suami?

Keduanya! Eh, maksudnya, bisa salah satu dari keduanya. Jika bukan karena cinta atau rindu, kuragukan seorang gadis mampu menikmati kesendirian di saat senja. Rindu dan senja yang memaksa gadis itu melakukan yang tak bisa dimamah logika.

Pertanyaan Kelima. Karena itu, Anda meyakini jika gadis itu rindu?

Iya. Pantai adalah simbol perpisahan antara daratan dan lautan. Sama halnya seperti terminal atau stasiun kereta api. Kau tahu? Orang Minang memiliki tradisi merantau, kan? Maka, kubayangkan, gadis itu sedang rindu dan menanti kekasih yang lagi merantau, namun telah lama tak pulang.

Pertanyaan Keenam. Kenapa Anda berfikir kekasihnya merantau?

Merantau tak hanya tradisi. Tapi adalah kegiatan yang memiliki beragam alasan. Mulai dari alasan melanjutkan pendidikan, memperbaiki nasib atau sekedar ingin mengganti suasana di kampung dengan suasana baru di tanah rantau. Kukira, kekasihnya merantau karena janji!

Pertanyaan Ketujuh. Karena janji?

Iya. Karena janji! Jika bukan karena janji, tak mungkin gadis itu betah menanti. Mungkin saja, kekasihnya, berjanji akan menikahi. Sehingga, kemudian bertekad merantau ke negeri orang, agar bisa mewujudkan janji.

Pertanyaan Kedelapan. Jika benjanji menikahi, kenapa tak segera pulang?

Dalam budaya merantau. Kata "pulang" dalam merantau itu, jika telah meraih keberhasilan. Semisal, jika tujuan merantaunya untuk sekolah atau kuliah, maka bukti berhasilnya adalah ijazah. Namun, kalau motifnya ekonomi, tentu ukurannya banyak uang.

Pertanyaan Kesembilan. Tapi, merantau itu tak mudah, kan?

Pasti! Selain lingkungan baru, juga akan bertemu dengan orang-orang baru serta budaya baru pula. Umumnya, tekad orang merantau, "pantang pulang sebelum padam! Eh, sebelum punya uang."

Di Minang, juga dikenal dengan ujar-ujar, "pado bansaik den bao pulang, rancak rantau den pajauh" artinya, daripada susah dibawa pulang ke kampong, lebih baik merantau lebih jauh lagi.

Pertanyaan Kesepuluh. Kalau susah begitu, tak akan pulang-pulang, kan?

Lah iya! Makanya lagu itu bertahan terus selama 29 tahun. Karena si Uda, belum pulang, kan? Kalau sudah pulang. Mungkin lagunya diubah sedikit, menjadi "Pailah Uda!"

sumber gambar : https://www.idntimes.com
sumber gambar : https://www.idntimes.com
Pergeseran Makna Merantau

10 pertanyaan dalam wawancara imajiner di atas, tak lagi menggali ide menulis, sebagaimana teori "What If". Malah mengarah pada menyigi makna dan tujun merantau. Haha...

Salah satu pergeseran makna merantau itu, adalah tekanan ekonomi atas nama cinta. Ketika merantau berpijak pada situasi dan kondisi di tanah rantau lebih baik dan lebih cepat untuk mewujudkan cinta itu, daripada menunggu di kampung sendiri.

W. Arthur Lewis dalam Economic Development With Unlimited Supply of Labour, menyebutkan motivasi merantau tersebut sebagai "Uniquel Development Impact" atau dampak dari ketidakmerataan pembangunan. Semisal ranah pendidikan atau ekonomi.

Berbeda dengan Teori Volutantaristic Action (De Jong and Gadner), bahwa terdapat beragam argumentasi proses pengambilan keputusan dalam merantau (migrasi secara individu). Bisa saja karena dorongan dari paradigma demografi, geografi, ekonomi, atau psikologi sosial.

Kampung yang terlalu padat penduduk, lahan yang gersang dan tandus, peluang kerja yang lebih terbuka di tanah rantau, atau karena alasan jodoh? Mungkin saja menciptakan dialektika baru dari makna merantau, tah?

Suku Minang, Batak, Madura atau Bugis adalah beberapa suku bangsa yang dikenal dengan tradisi merantau. Namun, kukira tak bisa mengklaim sebagai pemilik sejati peradaban merantau. Sosio budaya dan sosio historis, bisa saja menjadi alasan suku bangsa lain untuk merantau.

sumber gambar : https://www.idntimes.com
sumber gambar : https://www.idntimes.com

Akhirnya...

Pada awalnya, merantau adalah mencari "perubahan", kemudian setelah "mengalami perubahan", kembali pulang ke kampung halaman untuk melakukan "perubahan bersama". Namun, saat ini, motivasi itu tak lagi populer.

Kukira, mayoritas yang merantau, dengan berbagai motivasi, lebih memilih tanah rantau sebagai kampung halaman kedua. Pulang dari rantau pun, hanya bermakna "singgah". Terkadang, sumbangsih berupa materi menjadi "pengganti diri". Sebagai penanda, bahwa para perantau masih memiliki kampung.

Eh, Merantau tak hanya karena alasan mewujudkan cinta,sebagaimana dalam lagu Pulanglah Uda. Namun, bisa saja, alasan merantau itu karena putus cinta. Seperti lagu di bawah ini.


Curup, 19.06.2020

Zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun