Kata "awam" menjadi panduanku, sebagai pijakan tentang orang yang memilih tidak tahu. Dalam KBBI V, awam adalah umum, kebanyakan, biasa, tidak istimewa. Jika dikaitkan dengan kata orang. Maka menjadi orang kebanyakan, orang biasa (bukan ahli).
Golongan manusia-manusia awam ini, cenderung "dimaafkan" karena ketidaktahuannya. Namun juga terkadang "menjadi korban" akibat ketidaktahuan tersebut.
Fenomena terdekat, adalah "keriuhan" berkaitan dengan pandemic covid-19. Â Kalimat "common sense" (akal sehat) menjadi viral. Untuk mengajak berfikir secara sehat, ketika di pusaran polemik beredar kata Lockdown, PSBB, dan terakhir The New Normal.
Sebagai orang kampung, aku jadi susah membedakan, apakah itu informasi dari orang awam atau para ahli. Tetiba, aku merasa semua menjadi ahli! Ada ahli kesehatan, ahli kebijakan publik, ahli ekonomi dan ahli-ahli lainnya.
Pagi tadi, malah sempat kubaca pada linimasa seorang teman, "Pandemi itu, akar masalahnya pada kesehatan. Kalau masalah kesehatan tidak diselesaikan, maka kita tak akan bisa menyelesaikan masalah ekonomi!"
Logika yang dibangun dari status ini, adalah kekhawatiran. Jika masyarakat dihadapkan langsung dengan resiko penularan wabah karena urusan ekonomi. Biaya pengobatannya, juga bakal menggerus ekonomi.
Akhirnya aku jadi bingung! Melihat serta membandingkan semangat New Normal dengan status temanku tadi. Belum lagi, adanya "kecurigaan" yang melahirkan debat kusir tentang data dan fakta dari angka-angka orang terpapar covid-19 yang beredar.
Apalagi jika hal itu dihadapkan dengan kredo "Risk Communication". Tujuan dari Risk Communication itu, bukan menyembunyikan data atau mengaburkan fakta. Tapi upaya menyelamatkan sebanyak-banyaknya nyawa bagi mereka yang terpapar
Tuh! Lebih nyaman tidak tahu, kan? Hiks...
Aku jadi menduga-duga, urusan tahu dan tidak tahu ini seperti "jurus kaget" Abu Nawas. Seperti dDikisahkan, pada suatu malam yang purnama, Abu Nawas kehilangan sebuah kunci. Maka, Abu Nawas sibuk mengelilingi rumahnya mencari kunci.