Pembangunan, khususnya rumah di daerah perkotaan, saat ini cenderung menghasilkan bentuk tata ruang yang menggerus interaksi sosial masyarakat. Salah satu yang paling mencolok adalah perubahan bentuk bangunan rumah dan hilangnya fungsi beranda.
Itu menjadi hipotesa awalku, saat aku melakukan survey lokasi untuk kegiatan edukasi covid-19 pada beberapa desa di sekitar Kota Curup. Semakin sedikit, kujumpai "Umeak Potong Jang". Sebutan rumah panggung khas Rejang Lebong, Propinsi Bengkulu.
Bangunan mewah dan bertingkat, baik yang permanen atau semi permanen yang berwarna-warni, telah mendominasi pandangan mata di kiri dan kanan jalan. Aku jadi mengingat belasan tahun lalu, saat menyaksikan deretan rumah panggung, dengan warna kayu yang khas tanpa cat.
Umeak berarti rumah, Potong bernakna buatan, dan Jang adalah orang Rejang. Jadi Umeak Potong Jang bermakna "Rumah Buatan Orang Rejang".
Kucoba menarasikan semampuku tentang Umeak Potong Jang dan fungsi Berendo (Beranda) yang merupakan bagian penting dari struktur rumah adat Rejang, ya?
Disain Umeak Potong Jang, seperti umumnya rumah panggung di Sumatera Bagian Selatan termasuk Lampung, dibangun lebih menjorok ke dalam dari jalan raya. Tanah kosong di depan rumah, berfungsi sebagai halaman yang dimanfaatkan untuk menjemur padi atau kopi.
Rumah berbahan dasar kayu (jenis meranti), dibangun lebih tinggi dari tanah. Jadi, jika dilihat dari depan. Rumah panggung orang Rejang, akan terbagi menjadi 3 bagian, yang memiliki fungsi masing-masing.
Pertama. Kolong Rumah.
Kolong rumah terbagi menjadi tiga kolom, biasanya berjarak 1.5 hingga 2 meter dari tanah. Sebagai tempat meletakkan peralatan pertanian atau perkebunan, terkadang dimanfaatkan sebagai kandang kambing dan unggas. Selain itu, Kolong rumah juga tempat menyimpan kayu bakar.
Namun, ada satu hal unik dari susunan kayu bakar di bawah rumah ini. Selain susunan kayu itu juga berfungsi untuk "menguatkan" pondasi di bawah rumah, sekaligus menjadi simbol dan penanda di masyarakat tentang keberadaan anak. Â
Jika kayu bakar disusun hanya di kolom sebelah kiri sampai ke belakang rumah, artinya pemilik rumah hanya memiliki anak perempuan. Sebaliknya, jika susunannya di sebelah kanan, artinya hanya memiliki anak laki-laki.
Bagaimana jika memiliki anak laki-laki dan perempuan? Maka sisi kiri dan kanan rumah akan terisi kayu bakar. Bagi yang belum atau tidak memiliki anak, maka kayu bakar disusun pada kolom yang di tengah. Sisi kiri dan kanan kolong, dibiarkan kosong.Â
Jadi, susunan kayu bakar di kolong rumah, akan memudahkan orangtua untuk mencarikan jodoh buat anaknya, atau bagi para pemuda untuk mencari pasangan. Uniknya kearifan lokal, tah?
Kedua. Rumah.
Umumnya sebuah rumah. Pada denah Umeak Potong Jang, biasanya terdiri dari Berendo (beranda) berukuran 1-2 meter dan mengikuti lebar seluruh bangunan rumah. Kemudian ruang utama, lantainya lebih tinggi satu papan dari lantai beranda.
Ruang utama, terdiri dari ruang tamu, kamar tidur (sesuai kebutuhan) serta bagian paling belakang adalah dapur.
Ketiga. Bubungan.
Persis di bawah atap yang berbentuk segitiga, ada ruang kosong yang biasa disebut bubungan atau loteng. Digunakan sebagai lumbung atau rangkiang (jika di Minang). Untuk tempat penyimpanan cadangan pangan (padi yang telah dijemur kering) selama menunggu masa panen berikutnya.
Bubungan ini, juga dimanfaatkan sebagai "area parkir" biji kopi kering bagi pemilik rumah. Jika ternyata pada saat panen, mengalami harga yang dianggap belum cocok. Jika musim hujan, bubungan dijadikan tempat untuk "menjemur" padi atau kopi. Tuh, keren, kan?
Jika pemilik rumah adalah pemuka adat. Beberapa pusaka atau peralatan untuk upacara ritual adat, juga disimpan pada ruang khusus di bubungan. Tempat tertinggi sebagai simbol penghormatan tradisi.
Rumah panggung Umeak Potong Jang, tak hanya tradisi. Namun juga teruji dari bencana gempa. Letak geografis Rejang lebong, selain diapit dua gunung api aktif (Bukit Kaba dan Bukit Daun), juga terletak di zona subduksi gempa.
Selain Patahan Bukit Barisan yang membelah pulau Sumatra, Tanah Rejang juga memiliki Patahan Semangko. Gempa tahun 1979 berkekuatan 6,5 SR, tercatat dalam sejarah gempa dahsyat oleh orangtuaku dulu. Kukira, ini menjadi salah satu alasan, adanya Stasiun BMKG di propinsi Bengkulu.
Seperti pada paragraf pertama tulisan ini, semakin berkurangnya Umeak Potong Jang. Otomatis beranda semakin berkurang, kan?
Dulu, beranda Umeak Potong Jang. Tak hanya sebagai tempat santuy sambil minum kopi di pagi hari, sebelum berangkat atau setelah pulang bekerja. Namun juga menjadi ruang untuk memulai interaksi dengan jiran tetangga yang lalu lalang di depan rumah.
"Singgeak!"
"Ngupi kileak!"
Ajakan "Singgah!" atau "ngopi, dulu!" kerap terdengar. Tak hanya itu, beranda juga menjadi tempat pertemuan informal masyarakat Rejang saat menerima tamu. jika bahan pembicaraan dianggap penting atau rahasia, tamu baru diajak masuk ke ruang utama.
Bagi anak muda Rejang, beranda juga menjadi ukuran. Jika saat bertandang ke rumah anak gadis di malam minggu, ternyata tak sekalipun menerima tawaran dari orangtua si gadis untuk diajak masuk ke rumah. Diterima bertamu hanya sebatas beranda ini, bermakna "penolakan". Walaupun perih, tapi halus, kan?
Oh iya, beranda pun bisa berfungsi sebagai tempat menjemur pakaian. Hihi...
Seiring perkembangan zaman dan maraknya pembangunan, yang dipengaruhi budaya modern atau memang karena perubahan alih fungsi rumah oleh pemiliknya. Umeak Potong Jang dengan segala simbol dan maknanya, suatu saat bisa saja dilupakan atau tinggal kenangan.
Jikapun masih ada rumah panggung, halaman kosongnya yang biasa untuk menjemur kopi dan padi, selain akibat pelebaran jalan, juga telah berganti bangunan berbentuk ruko. Akhirnya, beralih fungsi menjadi tempat berdagang, sebagai gudang atau tempat menyimpan kendaraan.
Lokasi menjemur padi atau biji kopi, telah berpindah ke badan jalan. Interaksi sosial menjadi berkurang. Karena ruko telah menjadi pusat interaksi ruang publik.
Beranda yang semula menjadi ruang transisi antara ruang publik dan ruang privat, kehilangan fungsi. Semua urusan berlangsung "di depan rumah" (ruko), karena merasa enggan bertamu dengan posisi beranda yang telah jauh di belakang.
Kukira, semua akan mengerti. Apa yang terjadi dengan interaksi sosial di masyarakat, ketika ranah privat telah menyatu dengan ruang publik, tah?
Curup, 11.06.2020
Zaldychan
[ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H