Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

1 Juni, Saatnya Menyigi Ulang Pancasila Sebagai Kenangan, Ajaran, atau Amalan?

1 Juni 2020   19:42 Diperbarui: 2 Juni 2020   10:21 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Suasana Belajar Pancasila di kelas (sumber gambar : https://www.tribunnews.com)

Ada dua tanggal Hari Besar Nasional berkaitan dengan Pancasila. Tanggal 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila dan setiap 1 Oktober, yang ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila.

Pasti banyak alasan yang bisa dikemukakan, ketika menetapkan suatu momentum sebagai Hari Nasional suatu negara. Apalagi jika dua kali dalam satu tahun. Kukira, mesti memiliki tempat yang istimewa pada sejarah perjalanan suatu bangsa.

Hal itu terjawab, ketika sejak kemarin hingga hari ini, kucari dengan kata kunci "Pancasila", tak terhitung refleksi dari anak bangsa di ragam linimasa media sosial, media massa, termasuk di Kompasiana.

Beragam nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, "menyatu" pada beragam tema tulisan yang disajikan. Mulai dari menyigi ulang makna, melakukan perbandingan masa dan suasana, hingga menerapkannya dalam semua lini kehidupan dengan cara sederhana.

Kukira juga membuktikan, begitu dalamnya makna filosofis dari Pancasila sebagai Dasar Negara, kan? Telah menjadi landasan ideal pergerakan sebuah bangsa, menjadi kompas untuk mewujudkan tujuan bernegara, seperti yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.

1 Juni, saat Hari Lahirnya diperingati, kukira saatnya untuk menyigi ulang Pancasila sebagai Kenangan, Ajaran atau Amalan. Aku tulis versiku, ya?

Ilustrasi pelajaran pancasila di sekolah (sumber gambar : https://www.validnews.id)
Ilustrasi pelajaran pancasila di sekolah (sumber gambar : https://www.validnews.id)
Pancasila sebagai Kenangan

"Bangsa yang besar adalah Bangsa yang mengingat sejarah bangsanya", kalimat ini, kukira cukup menjadi piijakan, perlunya mengingat proses kelahiran Pancasila, kan?

Masa aku sekolah dulu, ada pelajaran PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa). Salah satu topik bahasan yang yang kuingat adalah adanya BPUPKI (Dokuritsu Zumbi Chosakai) yang melahirkan Pancasila serta PPKI (Dokuritsu Zumbi Iinkai) yang disebut juga "Panitia Sebelas" dan melahirkan Naskah Pembukaan UUD 1945.

Jika membayangkan suasana pada masa itu, begitu luarbiasanya 60-an orang tersebut, merancang berdirinya blueprint suatu negara dalam hitungan hari, dan masih dalam suasana "terjajah".

Apatah lagi, Negara Indonesia pernah melalui beragam bentuk negara, dengan dinamika sejarah ketatanegaraan yang rumit pada situasi yang sulit. Jalan "kompromi", tetap dicarikan. Mulai dari UUD RIS, UUDS 1950 hingga Dekrit Presiden menghentikan sidang Dewan Konstituante, dan kembali pada UUD 1945.

Sejarah pun akhirnya mencatat, hingga nyaris 75 tahun sejak proklamasi kemerdekaan, 2 blueprint itu (Pancasila dan UUD 45) lolos dan lulus dari pergolakan politik maupun keamanan dalam negeri yang pernah menjadi "batu ujian" keutuhan negara.

Menurutku, menjadi alasan logis, Hari Kelahiran Pancasila diperingati sebagai kenangan, tah?

Illustrasi belajar di kelas. Terkadang guru PMP (masa itu) juga ditakuti. karena pengukur moral siswa di sekolah (sumber gambar : https://optapiana.wordpress.com)
Illustrasi belajar di kelas. Terkadang guru PMP (masa itu) juga ditakuti. karena pengukur moral siswa di sekolah (sumber gambar : https://optapiana.wordpress.com)
Pancasila sebagai Ajaran

Memperingati, kukira juga sebagai momentum untuk menyigi ulang pembelajaran-pembelajaran yang tersimpan dari Pancasila, kan? Setidaknya, pembelajaran itu diawali belajar dan menghasilkan ajaran. Aku ceritakan pengalamanku, ya?

Sejak kelas 1 SD, pelajaranku tentang Pancasila adalah PMP (Pendidikan Moral Pancasila) sekarang jadi pelajaran PKn (Pendidikan dan Kewarganegaraan) Seingatku tidak rumit, karena kita membaca cerita tenatang tingkah laku yang terlihat dalam keseharian, bahkan tanpa sadar sudah dilakukan!

Semisal, bergotongroyong membersihan kelas dan sekolah, mengunjungi teman atau guru yang sakit, mesti membantu orangtua yang sulit menyeberang jalan raya, sumbangan kalau ada yang tertimpa musibah, atau tak boleh menyinggung orang yang berbeda agama, suku atau warna kulit.

Ajaran-ajaran sederhana ini, dikemas dengan sangat sederhana oleh guru-guru! Saat ujian pun, pertanyaannya dianggap "mudah". Karena mampu dijawab tanpa membaca buku paket yang dibagikan. Hihi..

Sejak SMP hingga SMA, pelajaran PMP tetap ada. Bedanya, sebelum masuk sekolah mesti melewati Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Harus duduk manis dalam ruang kelas selama 3-4 hari. Nah, Makna Pancasila mulai "rumit". Karena mesti menghapal butir-butir Pancasila! Tak lulus Penataran P4? Ulang lagi tahun depannya!

Semasa kuliah dulu, Penataran P4 malah satu minggu! Pancasila menjadi mata kuliiah dengan beban 2 SKS di semester satu. Terus di semester dua, ditambah dengan matakuliah "Kewiraan" (sekarang Civic Education).

Akupun masih mengingat keseruan saat menjadi peserta lomba cerdas tangkas (LCT) tentang P4 sejak SD hingga kuliah. Tak hanya ajang uji pengetahuan, tapi juga seleksi dari antar sekolah, kabupaten, propinsi bahkan tingkat Nasional! Saat itu. LCT P4 menjadi even bergengsi, walau aku tak sempat masuk tipi. Hiks...

Jika dibandingkan saat ini? Aih, aku tak mau  menyimpulkan, siapa yang lebih beruntung. Semasa aku dulu, atau siswa dan mahasiswa masa sekarang?

Gotong royong! nilai pancasila yang terus hidup di masyarakat (sumber gambar : https://pengajar.co.id)
Gotong royong! nilai pancasila yang terus hidup di masyarakat (sumber gambar : https://pengajar.co.id)
Pancasila sebagai Amalan

"Ilmu tanpa Amal, seperti pohon tanpa buah" ini pepatah Arab. Menyiratkan pesan bahwa ajaran yang didapatkan, akan "nyaris sia-sia" jika tanpa diamalkan. Ini beban berat bagi penuntut ilmu!

Begitu juga dengan ajaran nilai-nilai Pancasila. Terkadang, terlalu berat untuk mempraktekkannya. Apalagi, jika disigi lebih dalam, maka sesiapapun yang mengamalkan Pancasila akan menjadi manusia yang sempurna!

Dan mana ada manusia yang sempurna, kan? Sehingga, terkadang lebih memilih untuk menghapalnya saja. Urusan mengamalkan, bisa ditunda kapan saja, jika hal itu dibutuhkan.

"Susah nambah hapalan, Yah!"

"Ya udah! Jangan nambah!"

"Tapi..."

"Kalau banyak menghapal, banyak lupa, Nak! Enakan gak usah! Gak bakalan lupa!"

Aku sering bilang begitu sama anakku yang suka mengeluh, karena susah menambah hapalan alqur'an. Entahlah! Apatah jawaban ini tepat atau tidak!

Terkadang, aku lebih memilih, biarlah anakku tak banyak menghapal. Cukuplah dengan yang sedikit, namun mereka bisa memahaminya. Daripada menjadi anak yang pelupa?

Curup, 01.06.2020

Zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun