Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Diawali Menonton Film Train to Busan, Edisi Curhat hingga Si Sulung sebagai Imam Salat Ied di Rumah

24 Mei 2020   23:08 Diperbarui: 24 Mei 2020   23:13 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Selalu ada hikmah dan pembelajaran dari setiap peristiwa."

"Suatu saat, pasti mengerti!"

"Jika sudah seumurku, kau akan percaya!"

Ini ujaran para tetua, yang selalu ditanamkan sejak aku kecil dulu. Bagiku, awalnya merasa jengkel ketika menemukan kalimat seperti ini. Ketika tanpa menemukan jawaban serta batasan ruang dan waktu.

Rumusan dengan kalimat yang sama, kemudian aku teruskan kepada anak-anakku. Saat mendengarkan keluhan karena rasa bosan harus melakukan apapun hanya di rumah.

Apalagi saat menemukan momen ramadan dan lebaran tahun ini. Situasi dan kondisi yang terjadi, memaksaku sebagai orangtua, berlaku bak ahli virus, politikus, pemuka agama hingga sipir penjara.

Hingga momentum hari ini, kupilih menjadi lebaran yang berkesan. Berkenaan dengan sikal prilaku ketiga ankku. Sejak malam takbiran, usai shubuh serta pelaksanaan salat Ied di tumah. Aku tulis, ya?

Kisah Lelaki Kecilku.

Pada tahun-tahun sebelumnya, dua anak lelakiku akan ikut ke lapangan Setianegara Curup. Mereka menikmati suasana malam takbiran, aku Bersama teman-temanku, menyiapkan peralatan dan perlengkapan untuk pelaksanaan salat Ied esok harinya.

Namun, pada tahun ini, berbeda instruksi larangan melaksanakan salat dilapangan dan masjid, sebahai upaya memutus rantai covid-19, musti dipatuhi. Maka tak ada ritual begadang di malam Idul Fitri.

Maka, sejak selesai berbuka, lelaki kecilku, bolak-balik ke kamar, menonton televisi, menggambar, meminjam ponsel, kemudian balik lagi ke depan layar televisi.

"Yah, Kakak mau ngapain, ya?"

"Lah? Terserah Kakak!"

"Gara-gara corona. Kita gak ke lapangan, Yah!"

Kegerahan dan kekesalan, tak bisa melakukan kebiasaan yang dianggap menjadi rutinitas itu, kemudian berakhir, saat di televisi swasta, diputar film iTrain to Busan dan dilanjutkan film Pandemic. Kubebaskan lelaki kecilku, hingga tertidur sambal menggenggam remot televisi.

Usai shubuh, Kakak mengambil kesimpulan, mengerikan dan menyedihkan. Dengan perbedaan, film Pandemic lebih mirip virus corona, tapi film Train to Busan walau sama menyebar, tapi tentang vampire! Aku, manut aja, kan?

Uni, sapaanku buat Nakdis, yang curhat sebelum salat Ied gara-gara Corona (sumber gambar : Dokumentasi Pribadi zaldychan)
Uni, sapaanku buat Nakdis, yang curhat sebelum salat Ied gara-gara Corona (sumber gambar : Dokumentasi Pribadi zaldychan)
Curhat Anak Gadisku.

Sambil menyiapkan sejadah, dan menunggu saudara yang lain bersiap untuk salat. Gadismu mulai curhat. Siswa kelas 6 SD yang tahun ini sudah terdaftar sebagai calon siswa SMP itu, memulai edisi curhat. Aku tulis seingatku aja, ya?

“Tahun 2020 ini memang sedih, Yah! Awal tahun ada banjir. Gegara Corona, tidak jadi Ujian Nasional, tak ada acara perpisahan dengan teman seangkatan, tak ada buka bersama seperti tahun kemarin. Puasa pertama, Uni ingin berbuka dengan dogan, ternyata tak ada yang jual. Pagi ini, kita salat Ied di rumah. Biasanya di lapangan, kan?”

“Terus?”

“Uni kesal. Apalagi bilang Ayah, Uni angkatan corona!”

Percayalah! Rumus dengan anak gadisku lebih baik mendengarkan. Jika aku lahirkan konflik, nasib suguhan segelas kopi, akan terancam! Jadi, aku pun memilih diam, tanpa sanggahan dan bantahan. Hahaha…

Usai salat Ied di rumah dan saling bertukar salam serta bermaafan. Sambil melipat mukenah, Uni berkomentar ringan.

“Enak salat tadi, Yah! Hening.”

“Lah? Tadi kesal?”

“Kalau di lapangan rebut! Kadang terdengar suara anak kecil yang nangis! Jadi susah khusu’!”

Si Sulung sebagai Imam Salat Ied!

Tragis, mungkin salah satu kata pilihanku. Ketika belum genap menjadi santri sebuah pesantren di Kota Padang. Dampak kebujakan Keadaan Luarbiasa, membuat pengurus pesantren memulangkan semua santri hingga batas waktu yang tidak ditentukan.

Maka si sulung musti pulang ke Curup dan menjalankan karantina mandiri selama dua minggu. Akan menjadi PR bagiku, untuk mengembalikan semangat si Sulung, saat waktunya harus kembali ke Kota Padang, kan?

Bersiap melaksanakan salat Ied di rumah. (sumber gambar : Dokumentasi Pribadi zaldychan)
Bersiap melaksanakan salat Ied di rumah. (sumber gambar : Dokumentasi Pribadi zaldychan)
Saat semua bersiap untuk salat Ied. Aku tunjuk si sulung menjadi Imam. Secara syarat sebagai Imam, sulungku sah dan sudah memenuhi itu. Walau sedikit terkejut, namun si sulung anggukkan kepala menyanggupi.

“Surat apa yang dibaca, Bang?”

Al A’la dan Al Ghasyiyah kan, Yah?”

Maka si sulung, pada usia belum genap 16 tahun, menjadi Imam khusus. Pemimpin salat Ied di hari yang istimewa, serta di masa corona. Hematku, keputusan menunjuk si Sulung itu, akan menjadi ingatan abadi bagi si sulung sepanjang usianya.

Tak ada kesalahan yang melantunkan 2 surat yang lumayan panjang, yang termaktub pada juz 30 Alqur’an itu, Semua dibaca dengan lancar. Pun tak ada kurang dan lebih dari jumlah 7 takbir rakaat pertama, dan 5 takbir pada rakaat kedua.

Usai salam, kupeluk si Sulung. Wajahnya tersenyum, kemudian berubah sedikit tegang. Aku tahu situasi itu, akan sedikit sentimental.

“Hebat anak Ayah! Abang udah lancar jadi Imam!”

“Hamdallah!”

“Ada ragu atau takut salah?”

“Iya. Tapi Abang sudah siap-siap, Yah!”

“Hah?”

“Kan Ayah sering begitu?”

Aih, ternyata, si Sulung sudah mulai mengenal polaku. Karena sebagai anak tertua laki-laki. Maka aku, acapkali memberikan "jebakan dan ujian" tak terduga. Kukira, anakku mulai terbiasa dengan hal itu. Termasuk akan ditunjuk menjadi Imam salat ied di rumah.

Akhirnya…

Tak bermaksud lain. Tulisan ini hanya menjelaskan alasanku, karena menganggap lebaran Idul Fitri 1 Syawal 1441 H kali ini berkesan. Dari sikap dan prilaku keiga anakku.

Anak-anak yang menjadi objek tulisan penutup samber 2020 (sumber gambar : Dokumentasi Pribadi zaldychan)
Anak-anak yang menjadi objek tulisan penutup samber 2020 (sumber gambar : Dokumentasi Pribadi zaldychan)

Sebagai orangtua. Aku jadi bisa mengukur, sejauhmana kualitas mentalitas semua anakku, harus beradaptasi dengan situasi yang di luar kendali diri mereka.

Kali ini, tahun kedua aku mengikuti Event Samber THR Kompasiana. Belajar konsisten menulis , juga menantang diri sendiri menaklukkan beragam tema.

Terakhir, artikel ini adalah penutup event, sekaligus wujud syukur serta ucapan terima kasih pada semua teman Kompasianer. Khususnya di WAG Komunitas Penulis Berbalas, yang tak henti mendorong dan menjaga semua anggota untuk menyelesaikan, hingga ke garis akhir.

Hamdallah! Salam hormat dan salam hangat dariku.

Curup, 24.05.2020

Zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun