Usai keluarnya ayat ini. Abu Bakar memaafkan sahabat tersebut, dan kembali memberikan nafkah (infaq) seperti sebelumnya. Namun apakah abu bakar melupakan? Aku pribadi, belum membaca sejarah yang menegaskan itu.
Hematku, poin kedua dan ketiga, akan sangat sulit dilakukan atau ditemukan. Tindakan yang bisa dilihat, adalah poin pertama. Memaafkan, namun tidak melupakan. Tapi, ini menurutku, ya?
Terus apakan momen serta pengalaman bermaaf-maafan yang berkesan menurutku?
Aku tak bisa menjelaskan ritual saling memaafkan di dalam keluarga besarku. Karena, acapkali memaafkan dan dimaafkan, tak pernah terucap secara lugas. Hanya pelukan, rangkulan, usapan serta airmata yang mewakili momentum itu.
Aku lebih memilih saling bermaafan usai shalat ied di lapangan. Yang tahun ini, dipastikan tak akan lagi diselenggarakan. Aku cerita, saja, ya?
Sejak kecil, setiap malam Idul Fitri aku akan hadir di lapangan setianegara Curup. Bersama teman-teman menyiapkan saf dengan memasang tali pembatas, menyusun soundsytem serta mengatur area parkir bagi jamaah sholat Ied. Sila baca Potret shubuh 1 syawal 1440H
Usai shalat. Aku, anakku serta teman-teman tak langsung pulang ke rumah. Tapi kembali bekerja membereskan semua peralatan dan membersihkan lapangan seperti semula. Bersih dan rapi. Bisa baca Shalat Ied, Sampah dan Bahagia yang Sederhana
Saat seperti itulah, akan terlihat anak kecil hingga orangtua, rakyat kecil atau pejabat, tumpah ruah, saling menebar senyum, berpelukan dan bertukar salam. Tak ada yang lebih rendah, tak ada yang lebih tinggi. Semua bersama merayakan hari kemenangan.
Bahkan, bisa saja, saat di lapangan itu, suasana membuat hanyut perasaan. Kita mungkin bertemu sahabat lama yang puluhan tahun tak berjumpa, atau malah busuh bebuyutan yang membuat kita saling mengulurkan tangan untuk berucap maaf. pernah aku tulis, Idul Fitri, Kembali Merasakan Kesucian Jiwa