Usaha menambal dengan dempul atau teknik pertukangan modern lainnya, bisa saja menghilangkan bekas itu pada sebilah papan. Namun jejak diingatan, "tak akan pernah lagi sama" seperti kondisi sebilah papan sebelum dipaku. Iya, kan?
Kedua. Melupakan, tapi Tidak Memaafkan.
Tindakan adalah kebalikan dari poin pertama. Bersedia melupakan, namun tak bisa memaafkan. Adakah? Kalau ditunggu pengakuan, tak aka nada yang ngaku, tah? Namun dari tindakan, bisa terlihat yang memilih cara ini.
Interaksi serta komunikasi yang dulu rekat dan erat, karena ada kesalahan, kemudian menjadi renggang. Bahkan menjauh atau memupuk jarak sebagai upaya untuk melupakan.
Contoh sederhananya, bisa dilihat dari pasangan yang memilih untuk berpisah. Kemudian menjalankan kehidupan dengan pasangan masing-masing.
Namun, bisakah melupakan tanpa memaafkan? Kukira tidak! Jika memaafkan, tak akan terjadi perpisahan. Jika mampu melupakan, benarkah tak lagi mengingat kesalahan?
Ketiga. Memaafkan dan Melupakan.
Ini pribadi yang luarbiasa. Semua orang kukira ingin seperti ini. Ketika dua individu, saling bermaafan kemudian sepakat untuk memulai dari baru lagi. Tanpa mengingat kejadian di masa lalu. Pertanyaannya, mampukah?
Kisah Abu Bakar Siddiq, bisa menjadi contoh beratnya makna memaafkan dan melupakan. Kejadian yang menjadi Asbabunnuzul (sebab turunnya ayat) surat Annur Ayat 22.
"...Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kalian tidak ingin Allah mengampuni kalian? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. Annur : 22)
Dikisahkan, sebab turunnya ayat ini, karena sikap Abu Bakkar Siddiq yang bersumpah tidak akan memaafkan seorang sahabat yang biasanya diberikan nafkah oleh Abu Bakar, Namun telah menfitnah Aisyah RA, anak sekaligus Istri Nabi Muhammad SAW berzina.