"Mau berangkat kerja? Nanti belikan ibu buku Ramadan, ya?"
"Kan banyak, Bu?"
Telunjukku mengarah ke rak buku. Kepala Ibu menggeleng. Wajahnya tersenyum, sambil memegang lenganku, suaranya terdengar pelan.
"Bukan buku bacaan! Tapi buku ramadan seperti kebiasaanmu kecil dulu!"
Saat itu, walau masih menyimpan tanya, kukabulkan permintaan ibu.Â
Tujuh tahun berlalu, Membeli Buku Ramadan untuk ibu menjadi kebiasaanku. Apalagi saat ibu tak lagi bisa sholat berjamaah di masjid. Selain jarak, mungkin tak mau merepotkanku yang sering mengantar dan menjemput ibu.
Sejak tahun ini, karena Azam mulai bersekolah, aku membeli dua buku ramadan. Satu untuk Azam, satu lagi buat ibu. Dari percakapan dengan Azam, aku dengar. Ibu menganggap buku itu adalah Buku Tobat.
Sebagai mantan guru, ibu mengisi buku tobat itu dengan rapi. Jadual shalat, disesuaikan dengan jadual imsakiyah yang sengaja kutempelkan pada lemari kaca di kamar tidur ibu.
Begitu juga dengan penceramah dan ringkasan materi ceramah, ibu isi dari acara tausiyah yang beliau tonton di televisi. Bisa Mamah Dedeh, Qurais Shihab atau Aa Gym. Atau kajian siapapun yang beliau dengar pada hari itu.
Ibu juga mengulang hapalan do'a sehari-hari, muraja'ah juz 'amma serta melakukan tadarusan Alqur'an sendiri. Ibu juga yang mengisi dam memberi paraf sebagai tanda jika itu sudah dilakukan. Tujuh tahun, selalu begitu. Saat Ramadan, selain Alqur'an, buku tobat adalah benda terpenting bagi ibu.
Maka, tak heran jika ibu berlaku seperti itu. Ketika buku tobatnya hilang. Hingga pukul 10 malam, ibu belum juga keluar dari kamar.