Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Benarkah Salah, Keliru dan Mengeluh Sudah Menjadi "Gaya Hidup"?

14 Mei 2020   23:18 Diperbarui: 15 Mei 2020   00:36 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by pixabay.com

Gegara urusan salah ini, aku jadi ingat buku Irfan Amalee yang dihadiahkan seorang teman dari Bandung. Judulnya "Boleh Dogn Salah". Judul bukunya saja posisi huruf "n" dan "g" sengaja ditulis salah. Aku tulis seingatku saja, ya?

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Jangan Takut Salah! Tapi...

Mens sana in corpora sano, "di dalam tubuh yang sehat, hadir jiwa yang sehat". Ungkapan ini kukira lebih tua dari umurku. Sejak SD pun, pakem ini sudah ditanamkan di kepalaku. untuk membuktikan itu, masa Orde Baru, malah ada istilah "memasyarakatkan olahraga, dan mengolahragakan masyarakat".

Namun ungkapan ini menurut Jaya Suprana keliru. Alasan sederhana yang dikemukanan, "Lihat saja orang-orang yang sakit jiwa, banyak di antara mereka bertubuh sehat. Sebaliknya, para pelaku kriminal tubuhnya sehat, tapi jiwanya sakit!"

Jaya Suprana, yang multi talenta uga inisiator Museum Rekor Indonesia (MURI), malah melahirkan disiplin ilmu "kelirumologi". Bahan kajiannya adalah kekeliruan yang seringkali dilakukan manusia. Tanpa disadari merasa superioritas, padahal terjebak pada kekeliruan.

Jika suka membaca kisah humor atau majalah humor yang juga di inisiasi Bos Jamu Jago ini, akan dekat dengan "plesetan" yang sekarang dianggap "ngeyelan". Misal peribahasa "malu bertanya sesat di jalan".

Setidaknya ada dua varian baru yang disajikan dari peribahasa itu. Seperti "malu bertanya, jalan-jalan" atau "malu bertanya, jangan bertanya!" Alasannya? Lah, kan malu?

Kekeliruan dan kesalahan, adalah persoalan cara pandang. Dalam bahasa kerennya paradigma. Cara pandang menjadi pusat semesta dari kekeliruan dan kesalahan. Karena cara pandang, yang melahirkan perbedaan.

Misal, perdebatan para ahli tentang matahari yang melahirkan banyak teori. Yang kuingat Aristoteles yang menyatakan Matahari mengelilingi bumi, atau Copernicus yang menyatakan bumi yang mengelilingi matahari. Padahal yang dibahas, matahari yang sama, tah?

Permasalahannya adalah, cara pandang itu dilontarkan berdasarkan apa? Uneg-uneg semata agar tampak berbeda, atau berbasis keilmuan yang didukung dengan kerangka berfikir yang etis, logis dan sistematis?

Irfan Amalee membuat ungkapan yang renyah buat dikunyah, "salah paradigma, bisa membuat semua langkah dalam hidup ikutan salah". Jika salah di hulu, maka bakalan salah terus hingga ke hilir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun