***
Akupun pernah merindukanmu. Hingga kucoba menyigi bayangmu di antara kegelapan malam. Saat kesunyian merajai ketenangan yang lahir dari jiwa--jiwa yang lelah. ketika diri terlanjur abai menyisihkan sekelumit hari. Biar aku satu-satunya yang menemukanmu.
Tapi rinduku hanya sebatas igauan semu. Seolah menafsirkan satu rahasia di antara seribu satu dosa. Malu adalah pilihan terbaik dalam pengakuan penuh ragu. Benarkah, aku rindu?
"Siapa dirimu?"
Aku kembali menelan tanya. Hingga membiarkan kabut pagi mengantarkan bulir-bulir embun pada kelopak melati. Atau terdampar hampa di helai-helai dedaunan kamboja. Saat aku tahu, sesungguhnya rindu itu bukan untukmu.
***
Sungguh aku ingin bermimpi. Tentang berapa kali pergantian musim yang harus dilalui. Hingga pengelana doa-doa bersiap memuja garis-garis fana. Atau tentang satu berita bahagia yang membalut kemelut kabar-kabar duka. Seperti sajak-sajak Rumy yang mengalun lembut dalam tarian-tarian sepi para sufi.
Setidaknya, aku akan bermimpi tentang pengembaraan jiwa yang berbincang tentang janji-janji surga. Sesaat melupakan cara-cara penjelajah raga yang tersesat dalam kubangan luka yang setiap detik terbuka dan menganga. Dosa dan neraka!
Tapi mimpi, tak kutemui dalam lelapku. Mungkinkah mimpi pun bermimpi tentang keinginan berwujud harap dan pinta. Agar aku tak pernah bersua?
***
Pada dinding waktu yang berselimut ingin. Kuracik bait-bait sepi. Hingga esok pagi, kau tahu. Malam ini, aku mencarimu.