"Bu Guru, mengapa mesin gergaji itu memotong pohon kayu?"
"Mungkin orang itu butuh kayu?"
"Kita potong kayu dengan parang, hanya ambil secukupnya."
"Kalau kita pintar, kita bisa tolak mereka ambil kayu kita."
Dialog ini acapkali dikutip dalam film "Sokola Rimba". Diangkat dari buku catatan perjalanan Saur Marlina "Butet" Manurung, yang mengajar anak-anak rimba di hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi. Dirilis pada Nopember 2013. Lama, ya?
Duet maut Riri Riza dan Mira Lesmana menjadi lokomotifnya sebagai Sutradara dan Produser.  Sebelumnya, duo ini sukses mengangkat film dari buku. Semisal Gie (2005) dari buku Catatan Seorang Demonstran karya So Hok Gie (1983), serta Laskar Pelangi (2008) dan Sang Pemimpi (2009) dari novel Andrea Hirata.
Siapakah yang memerankan Saur Marlina "Butet" Manurung? Artis cantik Prisia Nasution, akan menyejukkan mata dalam film berdurasi 90 menit tersebut. Ahaay...
Jika berbincang pendidikan di pelosok Indonesia, acapkali terbayang anak kecil berjalan kaki. Menyusuri kaki bukit dengan sepatu di tangan. Atau bertukar baju, sesaat setelah menyeberangi sungai. Belum lagi, beberapa yang musti berperahu atau meniti jembatan yang nyaris putus. Pernah lihat, kan?
Namun pada potret itu, anak-anak masih terlihat menggunakan seragam, menemui guru dan ada ruangan sederhana yang diterjemahkan sebagai sekolah sekaligus kelas.
Nah, bisa dibayangkan bagaimana sokola rimba? Sekolah hanya berbentuk pondok tanpa dinding, bisa dipindah kapan saja, tak perlu seragam, tanpa ada jadual pelajaran apatah lagi ujian?
Film ini menceritakan, bagaimana butet (Prisia Nasution), setelah selesai kuliah, kemudian bekerja sebagai fasilitator pendidikan alternatif bagi suku asli Orang Rimba, Jambi.
Seiring berjalan waktu, Butet ternyata tak hanya mengajar membaca dan menulis, namun 'terhanyut" lebih dalam terhadap permasalahan yang dialami orang rimba.
Seperti dialog di awal tulisan, hal itu menjadi pengantar. Saat salah satu murid bernama Bungo meminta Butet membaca kertas perjanjian yang di cap jempol ayahnya sebagai tetua adat dengan "orang terang" (sebutan untuk bukan orang rimba).
Butet jadi mengerti, Orang rimba "dicurangi" dengan surat perjanjian tersebut. Mereka menyetujui dengan bukti cap jempol, tentang hal yang tak mereka pahami, karena tak bisa membaca.
Pada titik ini, benang merah dari film sokola rimba. Konflik di film ini, juga melebar pada bagaimana beberapa murid Butet, yang terkukung dengan aturan adat jika sekolah itu adalah pantangan bahkan bisa membawa malapetaka.
Hingga mereka musti berjuang untuk belajar dengan bu guru Butet. Bungo dan beberapa orang temannya, akhirnya bisa membaca dengan lancar, dan memahami pasal-pasal yang tertera dalam surat perjanjian.
Pada kisah nyatanya, seperti dipaparkan Saur Marlina "Butet" Manurung, Tak mudah meraih "kepercayaan" dari orang rimba. Butuh perjuangan untuk diterima dan berkali merasakan penolakan dari suku dalam yang tak terpapar dunia luar.
Hingga perlahan, sekolah rimba ala Butet diterima di kalangan anak muda rimba. Tentu saja, tak seperti pembelajaran di sekoah pada umumnya. Butet memadukan bermain dan belajar, sehingga anak-anak rimba tak merasakan sedang bersekolah.
"Sekolahnya tidak beratap, jadi kita di hutan gitu. Saya bawa buku, papan, lalu ya mengenalkan mereka abjad, angka dan mengajarkan mereka cara berkomunikasi dengan orang asing." Saur Marlina "Butet" Manurung (sumber: suara.com).
Apa yang bisa direfleksikan dari kisah ini? Kegigihan dan perjuangan seorang Saur Marlina "Butet" Manurung agar bisa mengajar anak-anak rimba. Sehingga tak lagi mudah diperdaya orang asing.
Atau paparan integritas menentang ketidakjujuran dan keadilan. Ketika orang-orang termasuik rekan kerja Saur Marlina "Butet" Manurung membiarkan eksploitasi. Tak hanya rimbanya, namun juga orang-orang rimba.
Semangat mendidik anak rimba agar bisa membaca dan menulis, hingga nanti tak dibodohi "orang terang" mencuri kayu mereka berbingkai surat perjanjian yang merugikan orang rimba. Hingga bisa menolak pasal-pasal yang merugikan Kelompok atau hutan milik mereka. Seperti yang dilakukan Bungo di akhir film.
"Bungo mengingatkanku pada sikap yang tepat menghadapi perubahan. Menjadikan pengetahuan sebagai senjata beradaptasi." - Saur Marlina "Butet" Manurung.
Film Sokola Rimba juga mendapat berapa penghargaan. Tokoh sentralnya, Saur Marlina "Butet" Manurung juga banyak meraih penghargaan nasional maupun internasional atas dedikasinya di dunia pendidikan.
Berita terakhir yang kubaca, melalui yayasan sokola. Menjadi pelopor berdirinya sekolah untuk anak-anak suku terasing di 16 titik pelosok Indonesia.
Akupun percaya, masih banyak sosok seperti Saur Marlina "Butet" Manurung. Jika memakai kalimat Naruto, setiap orang akan menemukan "jalan ninja-nya" sendiri!
Curup, 09.05.2020
[ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H