Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bansos Presiden, Menjadi Perlindungan atau Persoalan Sosial?

6 Mei 2020   03:36 Diperbarui: 6 Mei 2020   04:05 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur Jawa Barat Ridwan kamil, terjun langsung menyerahkan bantuan agar tepat sasaran (sumber gambar : https://megapolitan.kompas.com)

"Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia..." 

Kalimat ini tertatah lugas pada alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945. Oleh The Fouding Father, narasi tersebut menjadi tujuan utama bangsa. Dalam konsep ketatanegaraan Indonesia, hal itu menjadi kewajiban Presiden sebagai eksekutif.

Tentu saja presiden, dalam hal ini bukan individu, tah? Lembaga tinggi negara ini diberi wewenang yang luas hingga menjangkau wilayah dari Sabang sampai Merauke. Dengan departemen dan nondepartemen setingkat menteri hingga jajaran perangkat RT.

Presiden akan bahu membahu dengan lembaga tinggi negara yang lain. Dan secara legal formal melalui konstitusi secara sah mengawal, mengawasi dan mendukung serta memastikan tujuan itu terwujud untuk anak bangsa.

Jika koneksitas dan kohesivitas antar lembaga tinggi Negara ini sudah ada dan terjaga, walau hanya secara teoritis politik praktis. Kemudian terkuak pertanyaan. Sudahkan negara hadir sebagai pelindung dan menjadi tempat berlindung?

Gubernur Jawa Barat Ridwan kamil, terjun langsung menyerahkan bantuan agar tepat sasaran (sumber gambar : https://megapolitan.kompas.com)
Gubernur Jawa Barat Ridwan kamil, terjun langsung menyerahkan bantuan agar tepat sasaran (sumber gambar : https://megapolitan.kompas.com)
Dari Mana Mulai Menyigi Ulang Kata "Melindungi"?

Pertanyaan ini, acapkali digaungkan dalam diskusi formal dan nonformal di akar rumput. Baik oleh orang-orang yang konsen di bidang sosial, politik maupun ranah hukum.

Kukira, tak mungkin orang-orang terpilih yang berada pada top level di pusat pemerintahan dan lembaga Negara, tak pernah mendengar kalimat ini, kan? Atau, sesungguhnya poin ini dimengerti namun tak tahu awal memulainya?

"Tak mudah, kawan!"

"Sulit, bro!"

"Banyak yang harus dilakukan!"

"Kendalanya..."

Aih, sanggahan demi sanggahan juga dihadirkan. Dan semua juga mengerti itu tak mudah! Terus, pertanyaan lanjutannya, jika tahu begitu. Kenapa masih menginginkan jabatan itu? Bahkan ada yang nyaris memporakporandakan ikatan anak bangsa?

"Kalian tahu, kenapa di eropa gaji dan tunjangan hakim tinggi? Sebagai imbalan atas kewajiban serta keberanian mereka untuk memutuskan!"

Ini, kalimat yang masih terngiang, saat aku kuliah puluhan tahun lalu. Ketika berbincang tentang kepantasan antara besaran pendapatan dan besaran resiko yang mesti dihadapi. Sehingga, mereka dikenal sangat independen dalam memberikan keputusan.

Aku tak berniat memberikan perbandingan vis a vis. Hanya mencoba mengungkapkan, begitu sulitnya anak bangsa mendapatkan "perlindungan" dari Negara. Apatah lagi dalam kondisi pandemi corona ini.

lansia, kelompok yang rentan di tengah pandemi corona (sumber gambar : https://ekonomi.kompas.com/)
lansia, kelompok yang rentan di tengah pandemi corona (sumber gambar : https://ekonomi.kompas.com/)
Apa Kabar Perlindungan Sosial Akibat Pandemi Corona?

Menyimak rilis dari The SMERU Research Institute pada April 2020 tentang "Dampak Pandemi Covid-19 terhadap kemiskinan : Estimasi bagi Indonesia". Menyatakan, Dampak Ekonomi akan menyebabkan resesi global. Jutaan orang akan masuk jurang kemiskinan. Begitu juga Indonesia.

Prosentase kemiskinan di Indonesia sebelum pandemi, pada angka 9,2% (September 2019) atau 24 juta. Kemungkinan bergerak pada angka 9,7 % pada akhir tahun 2020. Estimasi terburuk terjadi peningkatan lebih dari 3%, yaitu pada  angka 12,4 %. Itu bermakna, prosentase kemiskinan pada angka 33 juta orang.

Angka-angka ini, mungkin saja tak berpengaruh banyak. Sebagaimana jamaknya kita, musti memahami "kekusutan" data dan angka kependudukan di Indonesia, kan? Mulai dari data ganda, kehilangan data, kesalahan data hingga tak ada data. Iya, kan?

Berapa banyak ditemukan pemilik KTP ganda? Biasanya heboh di musim pemilu. Sehingga ada orang yang telah meninggal masih terdaftar sebagai pemilih? Atau cerita perih seorang lansia di Pacitan tak lagi menerima bantuan sosial 100 ribu perbulan, karena dianggap sudah meninggal? Belum lagi kisah seorang rektor yang mendapat bansos presiden?

Kekusutan demi kekusutan yang terjadi, pelan-pelan menghadirkan kecemburuan sosial di tengah masyarakat. Secara tak sadar kemudian melakukan perbandingan. Mengukur kelayakan, dan bertanya tentang siapa yang paling berhak?

Kita tak lagi asing mendengar dan membaca tentang perangkat kelurahan dan perangkat desa menjadi sasaran telak dari amukan massa. Karena dianggap memberikan data yang keliru. Bahkan terungkap di media, ada yang menolak bantuan karena khawatir akan terjadi kisruh di masyarakat. Akhirnya perlindungan sosial menjadi peroalan sosial.

Pemotongan tunjangan ASN hingga 50%, Paket Relaksasi bagi yang terdampak corona, Kartu Prakerja hingga beberapa kebijakan bantuan untuk rakyat. Adalah jenis "gaung" terbaru yang menjadi "kudapan seru dan saru" di akar rumput, bahkan sebelum ketok palu!

Aura negatif terlanjur hadir, sebelum sempat dipaparkan blueprint saat petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis tuntas disosialisasikan. Hingga tak ada "keseragaman" makna dari hulu hingga ke hilir. Dari pusat hingga ke daerah terpencil. Ketika ini terjadi, kekisruhan menjadi hal yang tak terelakkan.

Distribusi Bansos. PR yang yang tak pernah usai (sumber gambar : https://www.kompas.com/)
Distribusi Bansos. PR yang yang tak pernah usai (sumber gambar : https://www.kompas.com/)
Terkadang...

Terkadang, kita terbiasa menyimak "gaung yang sayup-sayup dari pada menyigi sumber bunyi". Sesuatu yang baru sebatas wacana, sudah dilempar kepada khalayak. Padahal itu dianggap sebagai "test the water".

Atau, sesungguhnya kita terlalu kenyang dengan beragam test the water? Hingga menciptakan kekebalan nurani, bahwa melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, masih sebatas ingin dan angan? Entahlah!

Curup, 06.05.2020
Zaldychan
{ditulis untuk Kompasiana]

Taman Baca: The SMERU Research Institute

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun