Kekusutan demi kekusutan yang terjadi, pelan-pelan menghadirkan kecemburuan sosial di tengah masyarakat. Secara tak sadar kemudian melakukan perbandingan. Mengukur kelayakan, dan bertanya tentang siapa yang paling berhak?
Kita tak lagi asing mendengar dan membaca tentang perangkat kelurahan dan perangkat desa menjadi sasaran telak dari amukan massa. Karena dianggap memberikan data yang keliru. Bahkan terungkap di media, ada yang menolak bantuan karena khawatir akan terjadi kisruh di masyarakat. Akhirnya perlindungan sosial menjadi peroalan sosial.
Pemotongan tunjangan ASN hingga 50%, Paket Relaksasi bagi yang terdampak corona, Kartu Prakerja hingga beberapa kebijakan bantuan untuk rakyat. Adalah jenis "gaung" terbaru yang menjadi "kudapan seru dan saru" di akar rumput, bahkan sebelum ketok palu!
Aura negatif terlanjur hadir, sebelum sempat dipaparkan blueprint saat petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis tuntas disosialisasikan. Hingga tak ada "keseragaman" makna dari hulu hingga ke hilir. Dari pusat hingga ke daerah terpencil. Ketika ini terjadi, kekisruhan menjadi hal yang tak terelakkan.
Terkadang, kita terbiasa menyimak "gaung yang sayup-sayup dari pada menyigi sumber bunyi". Sesuatu yang baru sebatas wacana, sudah dilempar kepada khalayak. Padahal itu dianggap sebagai "test the water".
Atau, sesungguhnya kita terlalu kenyang dengan beragam test the water? Hingga menciptakan kekebalan nurani, bahwa melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, masih sebatas ingin dan angan? Entahlah!
Curup, 06.05.2020
Zaldychan
{ditulis untuk Kompasiana]
Taman Baca:Â The SMERU Research Institute
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H