Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Sesungguhnya Bukan Lagi tentang Harga! Tapi...

29 April 2020   21:29 Diperbarui: 29 April 2020   21:29 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi Pasar tradisional--jpnn.com

Seperti Early Warning System yang gagal berfungsi untuk mengirimkan data tentang kemungkinan terjadi bencana tsunami pasca gempa. Suka atau tidak, memberi gambaran jika anak bangsa tak benar-benar siap menghadapi alarm itu sebagai sinyal bahaya.

Kegagapan manajemen resiko, pertikaian elite di pusaran kekuasaan menentukan kebijakan, adu telunjuk yang berserakan ke segala arah, hingga beragam intrik dan teori konspirasi menyajikan banyak pembelajaran bagi kita.

Kegamangan pemerintah pusat juga pemerintah daerah menghadapi "peperangan" dengan virus corona yang mematikan serta kelangkaan alat medis juga minimnya sarana dan prasarana medis. Mempengaruhi Psikologi massa masyarakat, dan itu tergambar dalam prilaku.

Fakta panic buying terjadi. Tak lagi tentang obat dan vitamin, hand sanitizer hingga masker. Namun juga kebutuhan pokok. Teori ekonomi, "ketika kebutuhan meningkat maka harga juga melonjak" tersaji dengan lugas. Tak ada pilihan, jika atas nama kebutuhan, kan?

Terus bagaimana dengan harga pangan di daerahku? Aku tulis dulu argumentasi kasarnya, ya?

Pertama. Akses Logistik tersendat.

Curup tempat tinggalku, adalah Ibukota Kabupaten Rejang Lebong. Satu dari 14 Kabupaten dan Kotamadya di Propinsi Bengkulu. Hingga hari ini, masih masuk daerah zona hijau.

Namun, posisinya terkurung oleh 3 Kabupaten yang berbatasan langsung dan telah masuk zona merah. Kabupaten Kepahiang, Kabupaten Lebong dan Kotif Lubuk Linggau (Propinsi Sumatera selatan).

Dengan kondisi ini, para pedagang besar juga terimbas dengan akses logistik yang tersendat. Dan itu akhirnya menjadi kendala. Di level pedagang eceran, kan?

Apatah lagi, saat memasuki Ramadan. Memang tak sedahsyat panic buying yang tergambar di daerah lain. Semua tiba-tiba merasa butuh. Semua merasa perlu menyediakan kebutuhan pribadi dan keluarga, yang entah sampai kapan!

Kedua. Cuaca yang mengganggu kemampuan daya beli

Akibat curah hujan yang tinggi, banyak teman-teman petani yang terancam gagal panen Baik berkebun kopi, bertanam cabe atau beragam sayuran. Pernah aku tulis tentang ini Bukan Hanya Gagal Panen, Potong Gaji pun "Gali Lobang" Lagi!

Kegagalan panen, akibatkan turunnya penghasilan yang kemudian secara langsung mengganggu kemampuan daya beli untuk pemenuhan kebutuhan, kan? Keluhan apalagi yang harus diujarkan, jika semua nyaris alami hal itu?

Ketiga. Kecemasan dan kekhawatiran yang berubah menjadi ketakutan.

Awalnya, termasuk aku pribadi. Masih merasa aman-aman saja dengan pandemic covid 19 ini. Hingga pada awal bulan ini, ditemukan kasus positif di ibukota propinsi, bahkan sekarang "mengepung" tempat tinggalku. sila baca Kasus Pertama di Bengkulu, Tsunami Berita dan Pertanyaan tentang Orang Gila yang "Kebal" Virus Corona

Himbauan dirumahaja, social distancing, work from home hingga learn from home, sudah dilakukan. Gelombang berita yang setiap hari menyigi dampak dan korban di media massa dan media sosial, menghadirkan rasa cemas, khawatir dan takut.

Ilustrasi bahan dapur, salah satu kebutuhan masyarakat (sumber gambar : https://www.harapanrakyat.com/)
Ilustrasi bahan dapur, salah satu kebutuhan masyarakat (sumber gambar : https://www.harapanrakyat.com/)
Akibatnya?

Tiga alasan diatas, kukira menjadi jawaban nyata. Bagaimana kondisi pangan di sekitar tempat tinggalku. Setidaknya, ada tiga varian situasi yang bisa aku tuliskan.

Pertama. Barang dan bahan ada, tapi harga mahal

Ini terjadi pada jenis bahan kebutuhan pokok seperti beras, gula pasir dan minyak goreng, telur, bawang merah dan bawang putih. Salah satu alasan pedagang kenapa harga mahal di pasaran, karena tersendatnya distribusi.

Kedua. Harga ada, tapi barang sulit didapat.

Daging ayam contoh gampangnya. Temanku yang biasanya menyediakan ayam potong, hanya menerima pesanan. Dan itupun terbatas pada pelanggan. Tak mau ambil resiko menyediakan lebih.

Hal ini juga berkaitan dengan kekhawatiran masyarakat yang menyebabkan tak lagi bebas ke pasar untuk berbelanja kebutuhan pokok. Juga menjadi alasan untuk para ibu, lebih memilih berbelanja di sekitar rumah.

Ketiga. Prioritas pada yang benar-benar dibutuhkan.

Tak seperti di awal berita pandemic mengguncang masyarakat. Pada ramadan kali ini, dengan situasi yang pelik. Setiap orang belajar menentukan prioritas yang benar-benar menjadi kebutuhan.

Dampaknya? Pedagang takjil atau pakaian tak bisa berharap pemasukan seperti tahun lalu, juga sepi pembeli. Dua keadaan yang memaksa mereka juga menyususn secara cermat prioritas kebutuhan, tah?

Ilustrasi Pedagang toko yang sepi pembeli (sumber gambar : https://www.suarapemredkalbar.com/)
Ilustrasi Pedagang toko yang sepi pembeli (sumber gambar : https://www.suarapemredkalbar.com/)
Jadi?

Kukira, bukan lagi berdebat tentang harga atau ketersediaan barang dan bahan pangan di pasaran. Tapi rasa nyaman dan aman yang tergerus.

Masyarakat arus bawah, tak lagi berfikir siapa yang menimbun sembako, berapa keuntungan yang mereka raih, apa saja kebijakan pemerintah untuk menangani kondisi ini. Semua pasti sepakat, jika hidup adalah berjuang. Dan saat ini, bersama melakukan itu.

Kukira, sesungguhnya bukan lagi tentang harga! Harapan mereka tetap sehat, menjalani kehidupan normal seperti biasa dan pandemik ini segera berakhir. Dan itu menjadi harapan semua orang, kan?

Demikianlah.

Selalu sehat dan bahagia,

Namaste

Curup, 29.04.2020

Zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun