"Sudahkah menulis hari ini?"
"Sudah rapikah Anda?"
"Abang udah isi daftar hadir?"
Aku sering menyimak pertanyaan ini dan menjadi terbiasa. Yang pertama, biasanya kubaca di WA Grup menulis. Tujuannya, untuk mengingatkan anggotanya.
Pertanyaan kedua, sering kubaca pada selembar kertas atau bahkan ditulis langsung dengan spidol permanen di cermin besar yang acapkali di pasang di kamar mandi rumah makan, atau di dinding tempat berwudhu masjid.
Terus, pertanyaan ketiga. Berasal dari pesan via ponsel atau ucapan langsung dari teman-teman di tempatku bekerja. Sejak pandemi corona, udah dibuat aplikasi absensi online. Dan, aku suka lupa! Gegara sebelumnya menggunakan mesin finger print. Hihi...
Nah, malam ini, aku jadi kepikiran dengan pertanyaan sederhana menggunakan huruf kapital di grup parenting khusus berisi kaum bapak itu, "SUDAHKAH MEMELUK ANAK ANDA HARI INI?"
Pertanyaan itu, entah sekedar iseng atau benar-benar serius dilontarkan. Akhirnya mengundang tanggapan yang seru juga lucu!
"Ngapain peluk anak? Mending ibunya!"
"Pelukan bukan budaya! Walaupun anak sendiri!"
"Anakku udah gede! Bakal aneh!"
"Kenapa? Masa tanpa alasan, tetiba meluk anak?"
Karena penasaran. Aku jadi sibuk googling! Dengan kata kunci "memeluk anak". Maka bertebaranlah artikel tentang manfaat positif memeluk anak, arti pelukan orangtua terhadap anak, rahasia ajaib pelukan orangtua dan lain-lain.
Percayalah, sebagai seorang ayah. Aku sepakat dengan artikel-artikel itu. Pelukan adalah sentuhan intim yang dapat memicu bonding antara anak dan orangtua. Namun yang aku cari bukan pelukan dalam makna harfiah begitu.
Malah dapatnya dari buku koleksiku, "Mendidik Anak", terbitan tahun 1993. Satu artikel ringan dari Arlene Siberman, Praktisi parenting dan Penulis asal Amerika. Pelukan itu, tak harus dimaknai dengan rengkuhan dua tangan. Namun juga ungkapan perasaan.
Masalahnya, berapa banyak orangtua yang bisa mengungkapkan perasaan sesungguhnya terhadap anak? Acapkali, lebih banyak yang kita perdengarkan adalah omelan menyalahkan atau kritikan terhadap anak dibandingkan pujian, tah? Kalau tak ada omelan satu hari, tak sah menjadi orangtua. Haha...
3 Alasan Orangtua Tak Mau "Memeluk" Anak
Arlene Siberman menuliskan. Setidaknya ada tiga alasan. Mengapa sikap orangtua seringkali tidak memperagakan perasaan yang sesungguhnya kepada anak-anak. Seperti tanggapan teman-temanku di grup parenting tadi. Aku tulis ringkas dengan bahasaku aja, ya?
Pertama. Banyak orangtua yang tak tahu bagaimana caranya "memeluk".
Menurut Siberman, pemikiran dan pemahaman memeluk menurut orangtua adalah sekadar merangkul semata. Seharusnya, tak begitu. Makna pelukan adalah ungkapan perasaan positif orangtua terhadap anak.
Mungkin ucapan terima kasih disertai senyuman jika sang anak sudah membantu menyapu rumah. Usapan pelan di kepala atau tepukan di bahu, jika anak berhasil mengerjakan PR secara mandiri. Atau ucapan manis melihat anak lelah berpuasa, "Semangat, Nak! Sebentar lagi berbuka!"
Hal di atas adalah pelukan-pelukan sederhana yang bisa dilakukan orangtua kepada anak. Bermakna pujian dan dorongan semangat, ungkapan yang murah dan meriah. Kukira, bakal menambah kebahagiaan batin anak, tah?
Kedua. Orangtua mungkin malu dan takut memeluk.
Ini mungkin rada aneh. Tapi tanpa disadari banyak berlaku. Khususnya bagi para ayah. Ada rasa "malu dan sungkan" menunjukkan perasaan serta penilaian yang sesungguhnya terhadap anak. Apalagi, jika anaknya sudah beranjak besar dan dewasa.
Namun ada juga ketakutan orangtua mengungkapkan pujian, disebabkan takut "merusak" anak. Orangtua khawatir, jika anak dibesarkan dengan pujian, bakal membuat mereka "besar kepala". Dan tak baik bagi kepribadiannya di masa depan.
Kukira, kekhawatiran ini beralasan, jika pujian itu dilakukan tidak proporsional, kan? Anak lakukan kesalahan dibiarkan atau malah dibela! Atau jejangan malah dipukul! Akibatnya, anak akan terluka lahir dan batin. Hiks...
Ketiga. Orangtua tak mampu melihat kesempatan untuk memeluk.
Adakalanya, orangtua acapkali melakukan "kecurangan" tanpa sadar. Saat anak masih bayi, orangtua akan begitu tolerir jika anaknya pipis di celana ata malah buang air besar. Terkadang malah tertawa, melihat kepanikan sang anak!
Begitu juga saat "menerima dengan rela" pakaian anak kotor, saat terpeleset di jalan yang licin sesudah hujan, padahal pakaian baru diganti. Saat bayi, anak tak pernah mempermalukan orangtuanya atau menuntut membereskan tempat tidurnya di pagi hari.
Namun, semua itu berubah saat anak beranjak besar. Tak lagi ada toleransi terhadap kesalahan dan kekurangan sang anak. Berganti dengan sang anak harus begini dan begitu. "Kesibukan" itu akhirnya membuat orangtua tak melihat sisi baik dari anak di antara "keburukan" yang mereka lakukan.
Cobalah bertanya pada orangtua yang sudah beranjak sepuh. Akan hadir kerinduan mereka, dikelilingi oleh anak, menantu atau para cucu. Apalagi, jika saat dewasa dan berumah tangga mereka musti tinggal terpisah dan berjauhan.
Gawatnya lagi, jika ternyata sang anak "menyimpan" kenangan, bahwa orangtuanya berlaku kasar, dingin bahkan merasa aman dan nyaman jika berjauhan dari orangtua! Perih, kan?
Aih, begitulah! Sebagai orangtua, kukira kita menghitung mundur "kedekatan" kita dengan anak-anak. Semakin lama waktu yang berlalu, semakin berjarak orangtua dengan anak. Tak sebebas saat mereka seusia balita.
Itu kurasakan dengan gadis kecilku yang berusia 11 tahun. Merasa malu jika dipangku, dan tak lagi mau dipeluk. Gadisku telah membuat aturan dan aku musti hormati itu. Hanya boleh usap kepala. Kalau mau cium? Tak boleh pipi! Tapi ubun-ubun!
Dan? Aku pun "tertampar" juga dengan pertanyaan ajaib ini, "sudahkah memeluk anak Anda hari ini?"
Demikianlah!
Selalu sehat dan bahagia!
Namaste!
Curup, 27.04.2020
[ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H