Gadis pantai, berasal dari kalangan biasa. Tak bisa menulis dan membaca karena tak pernah sekolah. Menikah dengan sebilah keris, tunduk kepada pilihan orangtua untuk menaikkan derajat orangtua di kampung nelayan.
Tak mungkin menjadi istri utama Priyayi karena tak berdarah biru. Walau diberi fasilitas mewah, lebih cenderung dianggap "budak seks". Setelah melahirkan seorang anak perempuan, tanpa sempat menyusui sang anak musti ditinggalkan. Dia diusir dengan sejumlah pesangon cerai.
Saat dijemput ayah untuk pulang ke kampung nelayan. Gadis pantai menolak. Hanya meminta ongkos untuk ke Blora, dia menyerahkan seluruh pesangon cerai kepada sang ayah.
"Bapak pulanglah sendiri ke kampung. Belilah perahu besar model baru buatan Lasem. Dia akan menggantikan aku sebagai anak bapak. Mintakan maafku pada emak, saudara dan semua tetangga. Anggaplah anak bapak tiada lagi. Perahu buatan lasem bakal menjadi anak bapak yang paling ceria." (Gadis Pantai, hal. 270).
Menurut kiramologiku, buku ini adalah "cara" Pram menunjukkan kondisi, perjuangan, perlawanan sekaligus pengorbanan seorang perempuan.
Mungkin saja, kisah ini "menentang sekaligus menantang" dengan kacamata dan makna emansipasi "yang berbeda" dari kisah perjuangan Kartini yang disepakati anak bangsa sebagai figur emansipasi wanita.
Kenapa kuambil kesimpulan begitu? Ada 4 alasan yang bisa kutuliskan.
Pertama. Garis Keturunan. Kartini adalah perempuan berdarah biru. Ayahnya adalah Bupati jepara yang menggantikan sang kakek. Berbeda dengan gadis Pantai yang berasal dari kampung nelayan (kalangan biasa). Kondisikehidupan dan psikologis yang terbentuk pasti berbeda.
Kedua. Pendidikan dan keterampilan. Karena berdarah biru, Kartini kecil memiliki ruang bersekolah di ELS IEuropese Lagere School). Tentu saja bisa membaca dan menulis serta menguasai bahasa Belanda. Yang kemudian menjadi "alat perjuangan" dalam surat-suratnya. Gadis Pantai baru belajar membatik sambil menunggu "kunjungan" sang priyayi.
Ketiga. Usia saat menikah dan posisi tawar. Kartini menikah sebagai istri keempat dengan Bupati Rembang pada usia 24 tahun. Asal-usul dan pendidikan, menjadikan kartini memiliki "posisi tawar" Â yang lebih tinggi dari gadis pantai yang menikah pada usia 14 tahu, kan?