Kedua. Karena tak berinteraksi langsung, atau bekerja dalam tim dengan jarak jauh. Jamak ditemukan adanya pameo "mengandalkan" orang lain. Atau malah merasa curiga, jejangan atasan lebih percaya sama individu yang lain. Akhirnya berfikir yang dilakukan "pasti" sia-sia.
Ketiga. Bisa jadi "menyalahkan" kondisi saat ini. Karena menghilangkan kesempatan untuk melatih keterampilan atau mengembangkan kapasitas diri. Rasa putus asa yang pelan-pelan membebani diri, akhirnya diam-diam menikmati "wabah kesepian" itu sendiri.
Tuh, bisa sampai begitu, ya?
![Illustrated by pixabay.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/04/15/manhattan-1674404-640-5e972762d541df386673d432.jpg?t=o&v=555)
Namun, jangan khawatir. Aku pernah membaca, jika ternyata orang-orang yang merasa sedih dan kesepian pun memiliki sesuatu yang istimewa. Nah, kan?
Ada pepatah barat dengan ungkapan "Sadder but wiser". Dalam kajian psikologi, seseorang yang merasa sedih atau kesepian cenderung lebih peka dengan perilaku sosial orang lain.
Dengan kepekaan itu, seseorang bisa menjadi "psikolog sosial alami". Mereka lebih mampu memahami, memprediksi dan mengartikan perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Â Dibandingkan dengan orang-orang yang tak merasakan kesedihan atau kesepian.
Begitulah! Tulisan ini, ungkapan dari bilik kecilku. Ketika Wabah Covid-19, "memangsa" kebebasan berinteraksi dengan teman sejawat, nongkrong di kedai kopi. Berdiskusi bebas dengan beberapa teman komunitas di kampungku. Juga di tempat kerja. Hiks.
Namun, setidaknya. Dengan menulis ini. Aku bisa mengurangi rasa kehilangan, agar tak terjangkit akut "wabah kesepian". Aih, Lebay! Â
Demikianlah. Selalu sehat!
Hayuk salaman! Eh, Namastee!