Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Pandemi Corona, Hadirnya "Wabah Kesepian" dan Lahirkan "Kemalasan Sosial"

15 April 2020   22:34 Diperbarui: 16 April 2020   10:39 1530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by pixabay.com

Wabah covid-19, tak hanya merenggut nyawa. Kemudian "memaksa" orang-orang untuk lebih banyak beraktifitas di dalam rumah. Namun juga menciptakan "black hole" yang menggerus  benteng kokoh psikologi seseorang. Kusebut saja "wabah kesepian".

Kesepian bukanlah bermakna kesendirian dan bersembunyi dalam kesunyian. Kesepian tak lagi tentang ada yang menemani atau tidak. Sebab, terkadang di keramaian pun seseorang acapkali merasa sepi.

Kesepian adalah sebuah perasaan terasing, terisolasi atau merasa bahwa hubungan dengan orang lain tak memenuhi kebutuhan emosional. Dalam arti lain, kesepian lebih ditentukan oleh suasana hati.

Di kampungku, pedagang sayuran di pasar tradisional. Sejak pukul dua dinihari sudah menggelar dagangan hingga ke badan jalan. Biasanya, berpacu waktu dengan Petugas Satpol PP sebelum jam enam harus bubar.

Dua minggu terakhir, hingga jam delapan "dibiarkan". Tak ada kesibukan jual beli atau suara-suara teriakan khas pedagang pasar tradisional. Bukan hanya pembeli, jalanan pun setiap pagi terasa sepi. Kukira, pedagang dan petugas satpol PP pun merasakan "kesepian" itu.

Belum lagi sopir angkot, tukang ojek, hingga pedagang makanan yang berjualan khusus di pagi hari. Semisal pedagang bubur, nasi uduk atau lontong. Wabah kesepian pun "menjamah" mereka dengan beragam keluhan. Kondisi yang sama pun terjadi pada siang hingga malam hari. 

Begitu juga yang dirasakan oleh anak-anakku. Kesepian karena "kehilangan" waktu bersama dengan teman di sekolah. Guru-guru kehilangan siswa, atau seorang kepala sekolah yang kesepian karena "ketiadaan" guru-guru juga siswa di sekolah.

Pada top level. Aku bayangkan seorang direktur perusahaan, membawahi sekian banyak manajer dengan berbagai divisi. Namun "kekuasaan" itu tak lagi sesukanya dapat digunakan. Sebab pada kondisi ini, tak banyak interaksi dan komunikasi langsung. Atau lebih parah lagi, tak ada yang kerjakan!

Wabah kesepian mampu membuat tumpul dan lumpuh mental panglima perang yang paling dahsyat atau paling melegenda sekalipun.

Karena kesepian tak peduli, apakah seseorang itu kaya raya, terkenal sejagat raya, berkuasa, atau suka bersosialisasi dan dermawan.

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
"Wabah Kesepian" pada Masa Renaisans.

Kalau menilik sejarah perilaku masyarakat. Wabah kesepian telah hadir pada zaman renaissance atau abad pembaharuan (Mulai abad ke-14 sampai abad ke--17). Para sejarawan menyatakan, renaisans sebagai gerakan budaya.

Kita tidak berbicara tentang karya lukisan Leonardo Da vinci atau Michelangelo. Tapi, perubahan gaya hidup yang kolektif menjadi individualis. Masa ini menjadi titik awal revolusi industri.

Orang-orang berlomba meninggalkan kampung halaman dan perkebunan untuk bekerja di pabrik, dengan alasan pemenuhan kebutuhan dan meraih kehidupan yang lebih baik.

Perlahan, komunitas, nilai-nilai luhur serta tradisi di pedesaan lenyap! Desa-desa berubah menjadi kota. Kota-kota menjadi metropolitan bahkan megapolitan.

"Kesibukan" orang-orang di kota tak hanya melahirkan kesepian di desa. Namun, orang-orang tersebut pun, merasakan hal yang sama dalam kondisi berbeda.

Jadwal kerja yang padat, tekanan atau beban kerja, serta kurangnya waktu bersama. Menciptakan rumus "kesepian-kesepian" dalam bentuk lain.

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Perlahan, Wabah Kesepian juga meciptakan Kemalasan Sosial. 

Gawatnya, wabah kesepian ini perlahan menciptakan kemalasan sosial (Social Loafing). Dalam kajian sosiologi, kemalasan sosial adalah berkurangnya motivasi seseorang untuk berkontribusi maksimal.

Bukan bermakna bahwa individu tersebut pemalas. Namun, lebih disebabkan mereka merasa "tak nyaman". Apatah lagi, dengan keterbatasan ruang dan waktu harus melakukan kerja dari rumah.

Ada beberapa dampak dari social loafing yang bisa kutuliskan :

Pertama. Adakalanya seseorang akan bekerja maksimal dan penuh semangat, jika disaksikan, dibuktikan atau diapresiasi bernada "pujian" oleh atasan atau kolega di tempat bekerja. Namun jika hal itu tak lagi ada? Motivasi untuk pembuktian akan menukik tajam.

Kedua. Karena tak berinteraksi langsung, atau bekerja dalam tim dengan jarak jauh. Jamak ditemukan adanya pameo "mengandalkan" orang lain. Atau malah merasa curiga, jejangan atasan lebih percaya sama individu yang lain. Akhirnya berfikir yang dilakukan "pasti" sia-sia.

Ketiga. Bisa jadi "menyalahkan" kondisi saat ini. Karena menghilangkan kesempatan untuk melatih keterampilan atau mengembangkan kapasitas diri. Rasa putus asa yang pelan-pelan membebani diri, akhirnya diam-diam menikmati "wabah kesepian" itu sendiri.

Tuh, bisa sampai begitu, ya?

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Namun, Kesepian pun Hadirkan Manfaat.

Namun, jangan khawatir. Aku pernah membaca, jika ternyata orang-orang yang merasa sedih dan kesepian pun memiliki sesuatu yang istimewa. Nah, kan?

Ada pepatah barat dengan ungkapan "Sadder but wiser". Dalam kajian psikologi, seseorang yang merasa sedih atau kesepian cenderung lebih peka dengan perilaku sosial orang lain.

Dengan kepekaan itu, seseorang bisa menjadi "psikolog sosial alami". Mereka lebih mampu memahami, memprediksi dan mengartikan perubahan sosial yang terjadi di masyarakat.  Dibandingkan dengan orang-orang yang tak merasakan kesedihan atau kesepian.

Begitulah! Tulisan ini, ungkapan dari bilik kecilku. Ketika Wabah Covid-19, "memangsa" kebebasan berinteraksi dengan teman sejawat, nongkrong di kedai kopi. Berdiskusi bebas dengan beberapa teman komunitas di kampungku. Juga di tempat kerja. Hiks.

Namun, setidaknya. Dengan menulis ini. Aku bisa mengurangi rasa kehilangan, agar tak terjangkit akut "wabah kesepian". Aih, Lebay!  

Demikianlah. Selalu sehat!

Hayuk salaman! Eh, Namastee!

Curup, 15.04.2020
Zaldychan
[ditulis untuk Kompasiana]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun