Virus corona tak hanya berdampak langsung pada selurug aspek kehidupan di daerah yang tergolong zona merah. Namun juga "menghajar" kota Curup tempat tinggalku. Termasuk orang---orang yang acapkali kutemui di keseharianku.
Aku tulis dan ceritakan saja, beberapa kisah, ya?
Sekitar pukul 7 pagi tadi, aku memesan 5 bungkus ketan dan goreng pisang. Mataku menyaksikan nampan besar yang tertutup daun, berisi nasi ketan putih yang belum sampai setengah terjual.
Begitu juga lontong dalam bungkusan plastik bening, serta tumpukan aneka gorengan di tiga nampan kecil. Warung terlihat sepi. Hanya ada temanku, yang menambal ban di samping kedai. Â Â
"Sepi, Ni?"
"Iya. Padahal hanya masak 6 canting!"
"Semangat, Ni!"
"Nasi santan, baru laku sepiring!"
Pada hari-hari biasa, jam segitu, setidaknya tersisa sepertiga, bahkan terkadang habis. Aih, sudah satu minggu aku tak singgah. Biasanya, nyaris setiap pagi, usai mengantar anak-anak ke sekolah, aku akan mampir dan minum kopi di Kedai Kopi "Uni Ita".
"Satu minggu tak muncul! Ke mana?"
"Masih ngurus si Sulung. Kan, isolasi mandiri?"
Sambil membungkus pesananku. Mengalir cerita Uni Ita tentang dagangan yang terimbas virus corona. Biasanya, karena kedai tersebut berhadapan dengan masjid Aljihad, maka usai shubuh, jamaah masjid akan mampir membeli sarapan sebelum pulang ke rumah. Sekarang? Jamaah jauh berkurang.
Pelanggan Uni Ita, ada pekerja kantoran, ibu-ibu yang membeli bekal anaknya ke sekolah, atau anak sekolah dan mahasiswa. Termasuk aku, dan beberapa teman yang biasa mangkal di pangkalan ojek depan masjid.
Tapi, rutinitas itu terhenti. Apalagi sejak di Kota Bengkulu ditemukan 1 kasus positif corona, kedai itu kehilangan pelanggan. Padahal dari kedai itu, Uni Ita telah menghasilkan 2 sarjana, serta 2 orang calon sarjana. (Pernah aku tulis di Kompasiana baca di sini).
Berbeda dengan temanku yang berprofesi sebagai tukang ojek offline. Dari 11 orang yang biasa ada di pangkalan ojek Rafflesia, yang tersisa tinggal tiga orang. Yang lainnya "banting setir" mencari kerja serabutan. Alasannya sederhana, "sepi! Gak balik modal minyak, Bang!"
Informasi masiv corona, telah lebih dulu "membunuh" mata pencarian teman-temanku. Mereka memahami jika profesi ojek itu "rawan," karena harus berinteraksi jarak dekat. Kondisi saat ini, pelan-pelan "membunuh" keseimbangan hidup mereka.
Beberapa kali pernah kutulis saat isu corona mulai merebak. Temanku kehilangan pelangan juga kesulitan mencari penumpang, karena orang-orang jarang keluar rumah. Selain perih memenuhi kebutuhan sehari-hari, juga musti memikirkan tagihan kredit motor yang tertunda pembayarannya.
"Yang penting bisa beli beras, Bang!"
Akupun percaya, setiap orang akan mencari dan menemukan solusinya sendiri. Seperti temanku Pendi, aku menyapanya "Om Pen". Biasanya, dari pukul 7-10 pagi, suami berdagang pangsit. Dan mulai pukul 11 hingga waktu ashar, sang istri berjualan ayam geprek.
Sudah tiga hari, Om Pen tak berdagang pangsit. Dari cerita pagi tadi, temanku itu memutuskan, biar istrinya saja yang berjualan ayam geprek. Dagangan pangsit dihentikan hingga selesai lebaran. alasannya? Sepi pelanggan.
Temanku itu beralih profesi sebagai tukang ojek "tak resmi" di pangkalan ojek Rafflesia. Mendapatkan penumpang, jika pangkalan kosong. Sesekali mengantarkan pesanan pelanggan sang Istri jika ada yang delivery.
Tak perlu aku bertanya, temanku telah bercerita. Tiga hari terakhir, hanya membuat 1 kilo mi pangsit. Tapi, jual beli setiap hati paling banyak 5 mangkok! Maka, diputuskan hanya satu jenis dagangan saja. Yaitu ayam geprek, jualan sang istri.
Tiga kisah di atas, bisa jadi, juga dialami teman-teman yang berada di akar rumput. Berjuang dan bertahan dengan cara masing-masing. Memaksa tenaga dan pikiran untuk berdiri di hadapan keluarga dan tersenyum sambil berbincang pelan, "semua akan baik-baik saja!"
Mereka Mengerti, Hidup Bukanlah Menunggu!
Ketiga temanku tadi, tak akan menyimak dan menyimpan berbagai kebijakan yang disusun dan dikeluarkan untuk Usaha Micro, Kecil dan Menengah (UMKM) oleh pemerintah, dan berseliweran di media sosial atau layar televisi.
Bagiku, mereka adalah amuba yang pasti akan berjuang membela dan membelah diri, di antara pusaran hiruk pikuk pandemi virus corona. Kukira, mereka mengerti. Hidup bukanlah menunggu!
Demikianlah. Selalu sehat untuk semua!
Hayuk, salaman!
Curup, 03.04.2020
[Ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H