"Bibit Kangkung masih ada, Yah? Kan, sama aja?"
"Tapi bakal lebih lama, Nak!"
"Yang penting dari biji menjadi kecambah!"
"Cerdas! Salaman, Kak!"
Kekadang, sebagai orangtua, aku malah gak siap. Jika anakku, Â pasti mengamati hobiku yang suka menanam sayuran di rumah. Semua proses pembenihan hingga panen kangkung itu diingat, dan dipadupadankan dengan pelajaran tentang kacang hijau. Ahaaay... Â Â
Begitulah! Ada yang berefleksi dengan marah-marah dan merasa berhak untuk mendapatkan nilai yang baik sebagai "balasan" dari anak, dengan mengukur hasil belajar berdasarkan nilai dan peringkat. Kemudian menemukan solusi anak untuk menjalani berbagai les.
Namun, ada juga yang melihat dan menilai keberhasilan anaknya belajar di sekolah dengan menyigi dan menyesuaikan kemampuan anak. Serta melihat dari "perkembangan" sikap prilaku serta kepribadian dari anak.
Cara dan alat ukur setiap orangtua pasti berbeda. Seiring dengan visi dan misi dari orangtua terhadap anaknya saat ini dan di masa depan. Namun, aku sepakat dengan ungkapan, "tak ada manusia yang dilahirkan bodoh!"
Menurutku, tiga cara di atas, adalah upaya "berdamai" dengan hasil belajar sesuai kemampuan anak. Dan ini sulit diukur tanpa Interaksi dan komunikasi yang intens antara orangtua dan anak. Satu pesan tetua Minangkabau, melekat di kepalaku.
"Tujuan anak dididik bukan untuk juara, tapi sebagai manusia"