Bekal penguasaan berbahasa yang terbatas di sekolah, akan berimbas saat mereka melanjutkan ke perguruan tinggi. Banyak mahasiswa yang menjadikan skripsi seperti "hantu" bahkan terkadang menyerah. Atau akhirnya memilih jasa penyedia penulisan skripsi secara sembunyi-sembunyi?
Memahami konsep berbahasa dengan penjara tata bahasa, hanya akan menjadi alat penyambung pikiran dan logika semata. Bukan olahan untuk menyambung rasa. Jika tanpa kehidupan rasa, pengetahuan tak hanya gersang, membosankan, tak manusiawi namun juga jauh dari beradab.
Mengajak pulang sastra dalam sendi kehidupan! Pembelajaran sastra tak hanya menyigi dan menghapal jenis karya, tahun dan nama-nama. Sehingga pelajaran dimaknai sebagai penderaan dan penderitaan.
Guru tak hanya mengajar yang dimaknai menghajar. Namun menemani dan mengantarkan, membimbing dan mengembangkan potensi siswa. Menjadi inspirasi bahkan memotivasi anak didik untuk bangkit dan berjuang mencapai targetnya.
Pasti keren, jika guru mampu menjadi juru bicara sastra, seorang penafsir, bahkan jika diperlukan menjadi "penipu ulung" dalam bersiasat untuk mengolah rasa anak didik. Dengan begitu, guru menjadi seorang pemain aktif bukan sekedar pengantar sastra.
Bagaimana dengan penulis sastra dan sastrawan? Mereka bertanggung jawab menjaga kesejukan setiap manusia dari kegersangan jiwa. Memandu pengembaraan olahan rasa. Tak hanya tentang karya yang dibukukan dan tersusun pada rak-rak sepi perpustakaan.
Namun menyisip pesan, jika sastra itu berguna bagi kehidupan manusia!
Curup, 10.03.2020
[ditulis untuk Kompasiana]