Gegara mayoritas artikelku di Kompasiana adalah tulisan fiksi, baik puisi atau cerpen. Acapkali ada pertanyaan tertuju padaku. Termasuk beberapa orang guru yang mengajar bahasa Indonesia.
Bagaimana cara menulis puisi atau cerpen? Kenapa sulit menuturkan ide ke dalam tulisan? Adakah tips khusus agar bisa diajarkan di sekolah?
Secara jahat, jawaban yang kuajukan adalah; "Tulis saja! Karena menulis adalah kata kerja. Jika tak dikerjakan, tak akan ada tulisan!"
Aku hanya penikmat sastra. Dan masih malu untuk memberikan tips menulis, atau mengaku sebagai penulis, apalagi sastrawan. Lebih perih lagi jika ditanya tentang buku yang sudah terbit? Hiks...
Bagiku, menulis adalah proses mengolah partikel bebas yang kutangkap melalui indera. Sebagai refleksi internal diri tentang rasa dan peristiwa yang aku atau orang lain alami. Kemudian dipahatkan pada kata dan kalimat berbentuk tulisan.
Apakah kemudian tulisanku yang berbentuk puisi atau cerpen itu masuk ke ranah sastra? Entahlah! Kubiarkan saja tulisan itu mengalir menemui kematian. Jika kemudian ada respon baik positif atau negatif dari pembaca, kumaknai tulisan itu "hidup" kembali. Dan itu, versi pembaca.
Akhirnya, jadi kepikiran juga. Apa kabar sastra hari ini?
Dalam sebuah essay, Putu Wijaya memaknai sastra adalah karya yang setidaknya memiliki kekuatan konkrit.
Pertama. Sastra adalah dokumen perkembangan daya pikir dengan imajinasi sebagai wilayahnya. Dan imajinasi adalah wilayah yang terus bergerak. Tak hanya sekedar fiksi, juga bukan fakta yang kering dari fenomena yang terjadi. Perkawinan fiksi dan fakta, membuat sastra menjelajah tanpa batas.
Kedua. Sastra adalah seminar terbuka yang mengikuti pasang surut kehidupan. Bukan hasil akhir! Namun akan terus menumbuhkan kesimpulan baru, beragam interpretasi dengan sudut berbeda dan hasil yang berbeda pula. Sastra menjadi pendidikan jiwa yang memperkaya batin manusia. Karena sastra mengajak manusia untuk terus menerus menyigi perkembangan dari kemungkinan-kemungkinan.