Masih ingat acara Indonesia Lawak Klub yang ditayangkan salah satu TV swasta?
Aku sering terpesona dengan argumentasi Cak Lontong. Khasnya menggunakan teknik survey yang memancing gelak tawa. Yang paling kuingat adalah kemampuan bermain logika kata. Aku contohkan, ya?
"Sebab Teman Tapi Mesra (TTM)? Ada tiga! Pertama, harus ada TEMAN, jika tak ada teman tak akan ada TTM. Kedua, ada TAPI. Jika tak ada tapi, hanya jadi Teman Mesra. Ketiga, ada MESRA. Artinya ada hubungan yang mesra. Jika tak ada salah satu dari itu, bukan TTM!"
Ada bantahan? Jika menganggap itu salah, namanya acara lawak dengan tujuan menghibur, tah? Akan sah-sah saja jika menggunakan argumentasi menggunakan cacat logika (Logical Fallacy).
Cacat logika yang sering disebut sebagai sesat pikir ini. Juga jamak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Semisal seorang murid tertangkap tangan telah mencontek saat ujian. Kepada gurunya, murid tersebut berujar,
"Maaf, Bu. Saya salah, Dan tak mampu menjawab soal ini. Tapi coba ibu bayangkan bagaimana kecewa orangtua saya, jika nilai saya rendah? Mereka akan patah hati, Bu. Sumpah!"
Ada lagi? Yang heboh beberapa hari ini, lahir ungkapan "Sekarang, jodoh di tangan menteri,"Â sebagai refleksi dari ide pernikahan antara orang kaya dengan orang miskin. Atau meme ajaib, "Mau hamil? Hayuk berenang!" sebagai dampak pernyataan dari salah satu komisioner KPAI.
Keisengan dan kekonyolan yang disadari salah, namun dilakukan berulang dan meluas. Akhirnya dianggap "kebenaran". Contoh paling gampang adalah istilah "Masak Nasi", sejatinya yang benar adalah "Masak Beras". Namun, orang terbiasa dengan istilah yang pertama.
Biasanya, untuk memutuskan sesuatu, dibutuhkan susunan argumentasi kemudian dihimpun dan disimpulkan sebagai alasan. Yang acapkali terjadi adalah alasan-alasan yang dijadikan argumentasi untuk melahirkan keputusan.