Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bagi Sun Tzu Perang adalah Seni, bagi Guru Mengajar Itu Seni, Bisakah?

6 Februari 2020   15:35 Diperbarui: 6 Februari 2020   17:23 744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by pixabay.com

Apa yang terpikir ketika disebut  nama Sun Tzu?  Jenderal Tiongkok kuno yang dikenal sebagai ahli stategi militer itu adalah penulis buku legendaris The Art of War! Buku berisikan taktik dan teori perang yang dahsyat.

Karya besar Sun Tzu itu diadaptasi para pemimpin dunia. Dan berdampak luarbiasa terhadap sudut pandang sebuah pertempuran pada filosofi timur dan barat. Serta bagaimana cara memenangkan pertarungan secara bijak.

Tak sebatas  strategi perang, ide besar Sun Tzu juga dituangkan dalam beragam kata-kata bijak atau Sun Tzu Quote, yang kemudian mempengaruhi aspek budaya, politik, bisnis hingga olahraga.

"Seni perang tertinggi adalah menaklukkan musuh tanpa pertempuran" --Sun Tzu

Ketika di masa lalu atau bisa saja terjadi hingga saat ini, orang-orang memaknai perang adalah sebuah pertarungan dengan mengalahkan musuh, mengorbankan harta benda juga darah dan nyawa.

Sun Tzu melontarkan ide bagaimana memenangkan tanpa pertumpahan darah. Tak selesai di situ! Ketika para pemimpin berkutat menyusun strategi untuk memenangkan perang dengan menghimpun kekuatan pasukan dan beragam persenjataan.

Sang filosof itu hadir dengan quote "Pemimpin yang hebat bukan berfikir bagaimana memenangkan pertempuran, tapi bagaimana agar peperangan segera berakhir!"

Bayangkan! Dengan semua kemelut sebuah peperangan dengan resiko besar yang ditimbulkan, Sun Tzu menganggap perang sebagai sebuah seni.

Berpijak pada ide-ide Sun Tzu memandang perang sebagai sebuah seni. Bagaimana jika konsep itu diadaptasi oleh seorang guru? Bila mengajar dianggap sebagai area "pertempuran".

Mungkinkah Mengajar Bisa Dianggap Seni?

Jika ditanyakan kepada siswa mengapa bersekolah? Dulu, jawaban yang akan didengar adalah agar pintar dan mendapatkan ilmu pengetahuan. Berharap nanti hidup lebih baik.

Sekarang berkembang. Tak lagi sekedar pintar dan mendapatkan ilmu pengetahuan, namun juga meraih nilai yang bagus dan ijazah pendidikan tinggi. Hal itu sebagai modal, agar bisa bersaing di dunia kerja hingga memperoleh kehidupan yang layak dan bahagia.

Perspektif itu, bertambah lagi dengan harapan dari orangtua. Bahwa sekolah tak hanya memiliki titik tekan pada sisi intelektual, tapi juga kepribadian, karakter dan strategi dalam menentukan sikap hidup. Tuh, berat kan?

Sehingga proses pengajaran yang dilakukan guru, diharapkan melalui proses kreasi yang memiliki nilai seni. Hal ini bermakna secara teori dan praktek, menjadikan proses mengajar sebagai sesuatu kegiatan yang menarik, menyenangkan, tertata dan seimbang antara kualitas proses dan hasil pengajaran.

Illustrated by pxhere.com
Illustrated by pxhere.com
Guru Taman Kanak-kanak Bisa Menjadi Contoh!

"Perlakukan anak buah Anda seperti halnya anak-anak yang Anda kasihi. Dan, mereka akan mengikuti Anda kemana pun Anda pergi." -- Sun Tzu

Aku pribadi, memiliki pengalaman dengan empat anakku yang sekolah di Taman Kanak-kanak. Atau hal yang sama mungkin juga pernah dialami oleh para orangtua yang lain.

Tanpa disadari, peran dan kedudukan sebagai orangtua dengan sangat cepat "diambil alih" oleh guru, ustadzah atau ummi di taman kanak-kanak. Bahkan tak sampai hitungan satu bulan!

"Bilang Ummi, tak boleh..."

"Cerita Ummi..."

"Itu salah! Kata Ummi..."

Tak hanya pada ujaran-ujaran di atas. Anak-anak juga begitu patuh mengingat perintah dan larangan Ummi TK. Seakan-akan, mereka merasakan "keberadaan" Ummi TK dalam kesehariannya. Kok bisa?

Hematku, ada pada totalitas Guru TK memainkan "peran" di sekolah. Coba perhatikan, anak-anak disambut dengan senyuman saat tiba di gerbang sekolah. Diperhatikan dan didengarkan satu-persatu cerita dan keluhan mereka di sekolah.

Kemudian, saat proses belajar. Guru TK akan memilih bahasa yang mudah dimengerti anak-anak. Bercerita dengan runut dan perlahan. Serta mengulang dengan sabar saat ada siswa yang belum mengerti.

Terpenting, saat menjelaskan. Guru TK tak sungkan menggunakan bahasa tubuh. Bercerita tentang kupu-kupu, maka ekpresi dan sikap tubuh guru akan menggambarkan seekor kupu-kupu! Guru melakukan dramaturgi, agar anak-anak mengerti. Padahal proses pembelajaran itu biasanya hanya setengah hari.

Apa yang dihasilkan? Anak-anak mampu membaca, menulis, membuat beberapa kreatifitas, menguasai berbagai nyanyian, menghafal gerak senam atau tarian. Bahkan bisa mengaji dan menghafal beberapa surat pendek Alqur'an.

Hal yang jejangan tak mampu dilakukan oleh orangtua mereka sendiri! Dahsyat,kan?

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Kenapa Bisa Begitu?

Menurutku, ada tiga komponen yang biasa dilakukan guru TK , dan jarang lagi ditemui di tingkat pendidikan lebih tinggi semisal SD hingga SMA.

Pertama. Seni Berkomunikasi. Tak semua guru memiliki bekal keterampilan berkomunikasi, komunikator yang baik, akan memilih bahasa pengantar yang paling sederhana agar dimengerti oleh yang mendengar. Proses memilih bahasa pengantar saat mengajar adalah sebuah seni,  

Kedua, Seni Berinteraksi. Dulu, akan terlihat bagaimana guru dan siswa bercerita, bercanda sambil duduk di depan kelas atau malah pulang bersama. Tak jarang dengan sentuhan personal, guru menyediakan diri menjadi teman bagi anak didiknya. Dan menjadi sosok idola, panutan dan pribadi yang menyenangkan.

Ketiga. Seni Bermain Peran. Guru mampu menjadi aktor watak! Mendalami dan menjalani peran yang diinginkan dalam setiap bahan ajar yang telah disusun. Bahasa tubuh, mimik wajah dan intonasi serta artikulasi bisa menjadi poin penting agar anak didik cepat mengerti.

Andai...

Apakah aku sudah berlaku curang, berharap semua guru seperti guru TK? Tingkat emosi dan beban belajar berbeda, tah? Belum lagi tugas-tugas lain serta kehidupan pribadi. Aih, guru TK juga akan memberikan seabrek alasan, tah?

Menurutku, sehebat apapun ilmu yang dimiliki oleh seorang guru, dan sepintar apapun siswa yang dihadapi. Jika tak memiliki kemampuan menyampaikan ilmu tersebut dengan tepat. Maka semua akan sia-sia.

Andai semua guru menjalankan fungsi sebagaimana peran guru TK. Kukira, sekolah tak lagi menjadi penjara-penjara suci calon intelektual. Tapi taman bermain dan taman budaya, yang memicu sekaligus memacu lahirnya kreativitas serta pengembangan potensi siswa.

Aih, andai saja...

Curup, 06.02.2020

Zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun