Pada jejak digital, bisa dilihat fenomena kisah cinta Slamet (16 tahun) dan Rohaya (71 tahun). Tak kurang media massa nasional, kalangan pemerintah dan beberapa tokoh memberikan respon dan pendapat terhadap pasangan dengan selisih usia 55 tahun tersebut..
Pro dan kontra terjadi. Mulai dari yang menciptakan meme untuk lelucon, menyigi motif dari keduanya. Hingga pernyataan dan pertanyaan negatif. Jejangan cari ketenaran alias panjat sosial?
Namun, ada juga membangun narasi-narasi positif hingga berubah menjadi kalimat motivasi. Semisal : "Cinta gak kenal usia", "Cinta apa adanya bukan ada apanya", "Cinta mengalahkan segalanya", "Kebahagiaan itu tulus" atau "Kalau jodoh pasti bertemu."Â Â
Ada lagi? Fenomena Mamah muda (Mahmud) dan Papah Muda (Pahmud), Hot Moms dan Hot Daddy di kaum millenial! Apapun kegiatan dalam keseharian terpampang di publik, dan serta merta menjadi tren.
Contohnya? Orangtua dulu, bakal resah jika selera makan anaknya hilang. Sekarang beban itu pindah ke pengasuh anak. Dulu, dapur dan kamar tidur adalah privasi keluarga dan orangtua. Sekarang? Aktivitas di dapur dan di kamar tidur disajikan secara bebas.
Apakah itu salah? Akan ada perdebatan seumpama dari Sabang sampai Merauke, jika masuk ranah itu. Sambil menjadi evaluasi dan refleksi diri, titik "toleransi dan maklum" adalah pilihan yang paling aman dan nyaman, tah?
"Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa." -Â Seno Gumira Ajidarma
Paragraf ini kubaca pada status facebook seorang teman, saat merespon perilaku seseorang yang sudah sepuh, tapi bermain aplikasi tiktok. Tulisan di linimasa itu bukan pembelaan, tapi ajakan untuk arif menyikapi.
Hidup akan mengerikan, jika melulu terjebak pada hal serius dan rutin. Namun. Sesekali butuh hal-hal yang menyenangkan, konyol, atau lucu agar hidup lebih berwarna. Iya, kan?
Kukira, penguasaan dan pengendalian diri, menjadi kunci dalam bereaksi dan beraksi, tah? Banyak mutiara hikmah yang disajikan filsuf atau tokoh agama dan figur publik tentang kepantasan bersikap dan berprilaku.
Meminjam kalimat Sujiwo Tedjo dalam buku "Dalang Ngetwit", hanya bangkai dan sampah yang diizinkan ikut arus. Kumaknai, butuh rambu-rambu dan beradaptasi dalam menjalani kehidupan zaman now.