"Bang! Boleh nanya?"
"Tentang apa?"
"Bagaimana caranya mencintai, tanpa membebani?"
"Membebani atau terbebani?"
"Membebani, Bang!"
Tema percintaan selalu menarik untuk dibahas. Pertanyaan di atas kujumpai pada diskusi ringan tentang anak muda. di sebuah Grup WA yang diadakan setiap malam minggu. Aku harus jawab apa, coba? Hiks...
Begitu banyak rumusan literasi, tentang bagaimana menjaga hubungan antar manusia. Mulai dari lancarnya komunikasi, hadirnya ikatan yang berujung kepastian, hingga saling memenuhi kebutuhan antar pasangan.
Bila mencintai akhirnya terbebani, bisa jadi masuk kategori bucin (budak cinta). Namun jika kondisi mencintai tapi membebani? Â Kok bisa?
Mungkinkah pertanyaan itu, hadir gegara kegagalan menganalisis?
Bahwa, semisal kebutuhan pasangannya hanya berukuran satu gelas kopi. Namun secara sengaja atau tidak, malah dituangkan seukuran galon. Hingga membebani?
Atau, ada perubahan di tengah jalan saat menjalin hubungan, yang membentuk sekat-sekat ketidaknyamanan. Hingga terlambat kembali mengeja komitmen awal saat memulai hubungan.
Setiap saat selalu ada perubahan, dan perubahan adalah hal yang tak mungkin terhindari, kan?
Bisa saja kuajukan varian pertanyaan, semisal :
"Kenapa bisa begitu?"
"Sejak kapan merasakan itu?"
"Apa aja yang berbeda dibandingkan dulu?"
"Siapa yang lebih dominan merasakan itu?"
"Apa yang telah dilakukan untuk meminimalisir rasa itu?"
Namun deretan pertanyaan itu, tak akan membantu untuk orang yang butuh jawaban.
Menurut teori kiramologiku. Perpaduan manusia menjalin hubungan, beranjak pada tiga fase. Setelah saling mengenal.
Fase Pertama. Hubungan yang "mengatasnamakan cinta". Susahnya, cinta itu tumbuh sesukanya, dengan atau tanpa alasan yang nyata.
Karena cinta itu di pikiran bukan di kepala. Ingat! Kepala akan tetap menempel di raga. Namun pikiran sesukanya melanglang buana.
Pada tahap ini. Semua ruang akan berwarna-warni pelangi. Dinding waktu akan penuh bunga. Dan semua yang dilakukan mempesona.
Fase Kedua. Setelah beres dengan konsekuensi cinta. Hubungan akan memasuki tahapan "rasa takut kehilangan"!
Semakin rekat dan pekat rasa cinta, akan semakin besar potensi "rasa takut kehilangan" hadir.
Biasanya, akan lahir rujukan untuk berkomitmen. Bahkan, tak hanya selesai sebatas itu. Secara perlahan akan hadir tuntutan untuk konsisten, terhadap komitmen yang telah diujarkan.
Fase Ketiga. Ini fase penentuan! Karena pelan-pelan akan muncul pertikaian antara Kewajiban dan Hak.
Lebih mengecil lagi, dengan menginventarisir. Apa saja kewajiban yang harus dilakukan, dan apa saja hak yang mestinya didapatkan.
Kemampuan memenuhi kewajiban dan hak, akan menguatkan. Atau setidaknya saling mendelegasikan antara hak dan kewajiban itu secara bersama.
Ketiga fase ini, akan mengerucut pada kesimpulan sekaligus pilihan dengan segala resikonya.
"Bertahan atau tinggalkan!"
Kenapa jabatan hakim dibayar mahal? Karena hakim adalah simbol "keberanian memutuskan"!
Menjalin hubungan juga butuh keberanian untuk mengambil keputusan. Karena aku susah menjelaskan langsung hal ini kepada yang bertanya. Dan akupun belum tahu pasti jawabannya!
Jadi tak jelaskan aja melalui tulisan ini. Biar yang bertanya membaca dan menentukan, dia sedang di fase yang mana. Kan? Kan?
Dan, siapa tahu, ada komentar atau masukan dari yang membaca tulisan ini. Dan, bisa menjadi salah satu solusi! Aduhaaaay...
Curup, 29.01.2020
zaldychan
[Ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H