Tahun 70-an. Booming minyak tanah mempengaruhi prilaku di dapur. Diciptakan ragam kompor bersumbu. Bahan bakarnya? Minyak tanah, kan?
Maka dilempar isu ilegal logging dan reboisasi. Indonesia adalah paru-paru dunia. Hutan tak boleh dijamah atau dirambah. Pencari kayu bakar banyak yang ditangkap, agar jera.
Isu itu efektif! Mayoritas penduduk di area perkotaan mulai beralih ke minyak tanah. Kompor minyak menjadi hal wajib menghiasi dapur. Â Dan tentu saja diikuti hingga pelosok negeri.
Suatu saat, harga minyak mentah melejit di pasaran dunia, negara mesti menggenjot pemasukan. Di Dalam negeri terjadi fenomena antrian orang- orang mencari minyak tanah yang tetiba sepi di pasaran.
Ragam alasan begini dan begitu dilakukan. Artinya, kembali butuh terobosan baru, kan?
Awal 2000-an. Kebijakan diambil, kompor dan tabung gas dibagikan gratis khusus orang tak mampu. Saat itu, Tetiba, banyak orang yang merasa tak mampu. Rakyat kembali mengubah prilaku di dapur. Mengganti minyak tanah dengan gas!
Kompor bersumbu ditinggalkan. Beralih dengan kompor gas beraneka bentuk. Saat harga BBM dan Gas naik. Tak ada pilihan, kan? Hidup terus berjalan, tah?
Dulu, setiap pengumuman kenaikan harga BBM dan gas, Â akan ada demo. Akhirnya, diumumkan diam-diam, terkadang, dini hari. Nah, yang demo juga capek atau kekenyangan, tah?
Harus ada alternatif, kan? Jangan remehkan kecerdasan orang Indonesia dalam memutuskan perubahan prilaku. Maka ragam alat elektronik tercipta. Kompor gas segera menjadi hal yang kuno. Perlahan rakyat mengubah peralatan dengan alat elektronik. Termasuk di dapur.
Belajar dari pengalaman. Perubahan prilaku nyaris selalu melahirkan ketergantungan. Begitu juga, ketika peralatan rumah tangga beralih serba listrik. Ketika tarif dasar listrik naik, tak lagi menjadi isu menarik untuk melakukan demo. Tapi, kalau mati lampu baru heboh!