Namun tak semua orang bisa begitu! Ada orang yang mampu total bermain dan mengekspresikan diri. Dan ada saja orang yang kaku, tetap menjaga sikap dan berlaku pasif. Seakan, kegiatan tersebut tak lagi layak bagi orang dewasa dan kekanak-kanakan.
Seseorang dikatakan dewasa adalah mereka yang menerima masa lalu. Memahami kebutuhan inner child serta memenuhinya tanpa tergantung orang lain.
Kenapa bisa begitu?
Setiap orang dewasa, seperti dilansir situs maxima.id memiliki Inner Child dalam dirinya. Di ranah psikologi, Inner Child merupakan pengalaman masa kecil yang tidak atau belum mendapatkan penyelesaian yang baik. Tanpa sadar, hal itu melahirkan gangguan trauma yang terpendam.
Karena Inner Child merupakan bagian dari alam bawah sadar, terkadang motivasi itu tetiba hadir dalam bentuk perilaku atau emosi yang tak disadari. Akhirnya bermasalah dengan tingkah laku, emosi yang tidak stabil atau saat melakukan interaksi sosial.
Inner Child dan Pengaruh pada Pola Asuh Anak
Bayangkan jika orangtua belum mampu menerima atau berdamai dengan inner child-nya? Kukira hal itu akan berpengaruh pada pola asuh bagi anak-anaknya.
Bukan rahasia lagi, bahwa orangtua akan merefleksikan pola asuh yang dulu pernah dijalaninya. Jika mereka anggap baik, maka pola yang sama akan dilakukan pada anaknya. Namun jika mereka anggap salah, orangtua akan mencari patron pola asuh yang baru. Dengan harapan, anak mereka tak alami hal negatif, yang dulu pernah dialami orangtuanya.
Dari berbagai literasi, setidaknya ada 4 jenis pola asuh yang dikenal.
Pertama, Pola Asuh Demokrasi
Orangtua mendorong anak untuk bebas, tapi memberikan batasan dan mengendalikan tindakan mereka. Kepentingan anak di atas kepentingan orangtua. Sehingga orangtua menerima anak dengan sepenuh hati.
Akhirnya, anak akan tumbuh mandiri, bisa tegas terhadap diri sendiri, memiliki kemampuan mengendalikan diri dan instropeksi, mampu bekerja sama dan mudah bergaul serta ramah dengan orang lain.
Kedua, Pola Asuh Pemanja (Permisif)
Orangtua tidak mengendalikan perilaku sesuai perkembangan kepribadian anak. Tak berniat mengatur atau bahkan tak berani menegur. Meski perbuatan di luar kewajaran.
Cenderung membiarkan anak menemukan sendiri jati dirinya. Risikonya? Jika anak tersebut mendapat lingkungan yang bagus, anak-anak akan tumbuh dengan baik. Begitu juga bila sebaliknya. Ketika anak tumbuh di lingkungan sosial yang buruk, maka anak akan mudah terimbas prilaku negatif.