"Condong mato ka nan rancak, condong salero nan ka lamak!"
Ini ungkapan Minangkabau yang menggambarkan sifat manusia, bahwa seseorang itu senang melihat kepada yang indah dan kalau makan senang kepada yang enak. Jika menyigi pada setiap individu atau kelompok, maka ungkapan ini tentu saja relatif dan subjektif.
Dari hal-hal yang kasat mata. Bagi para pendaki, keindahan alam dari puncak gunung hanya salah satu dari tujuan tertinggi dalam sebuah pendakian. Penjelajahan alur setapak dengan rute yang sulit, terjal dan menantang adalah bagian dari keindahan sebuah perjalanan.
Bagi penyuka laut. Adalah sebuah keindahan ketika menyaksikan prosesi alam dari tepian pantai saat matahari timbul atau tenggelam. Namun menikmati harmoni alam, saat deburan ombak ditingkahi suara burung camar, yang menyapa pasir pantai adalah selera pada keindahan.
Begitu juga, jika berbincang tentang selera makanan. Tanyakan pada pedagang pecel. Walau hanya menjual satu jenis makanan. Dalam keseharian, bakal berhadapan dengan ragam keinginan serta perbedaan selera dari pelanggan.
Ada yang suka pedas, ada yang pesan tanpa cabe. Juga ada yang pesan rasa sedang dengan menyebutkan jumlah cabe tertentu. Ada yang pesan pecel pakai lontong, atau bisa juga tak suka jenis sayur tertentu.
Coba bayangkan, jika penjual pecel mendapat pesanan pelanggan dengan uraian :
"Mbak, pesan pecel. Dua bungkus. Satunya seperti biasa, yang satu lagi setengah porsi aja. Cabenya lima dan tiga biji, kuahnya sedikit. Semua gak pakai lontong dan juga gak pakai sayur kates!"
Semisal ada sepuluh pelanggan begini, bisa jadi pedagang pecel secepatnya ajukan pensiun dini, ya? Hihi...
Begitulah! Terkadang repot juga memikirkan selera. Namun jangan khawatir. Tak selamanya, selera itu berbeda. Ada saja pengakuan seseorang atau sekelompok orang, memiliki selera yang sama.
Semisal makanan atau minuman yang sama, tokoh atau artis yang sama, novel atau penulis yang sama, lagu yang sama, jenis kendaraan yang sama, game online yang sama, hingga isu dan pandangan politik yang sama. Iya, kan?
Kemudian, orang-orang yang memiliki kesamaan ini, bergabung dalam kelompok-kelompok kecil dan membentuk komunitas atau organisasi. Menyusun struktur pengurus, jadual pertemuan, hingga program kegiatan yang bisa dilakukan bersama.
Sehingga, pada awalnya, khusus untuk anggota. Perlahan memiliki misi menularkan dan menyebarkan kesamaan selera itu, kepada orang lain. Mungkin anggota keluarga, teman semasa sekolah atau teman kerja.
Selera Boleh Sama, tapi Jangan Maksa!
Seperti gelindingan bola salju, yang semakin lama semakin besar. Begitu juga dampak dari perkembangan selera. Awalnya dari rasa suka karena selera yang sama, seiring perjalanan waktu, tanpa disadari malah berubah menjadi tuntutan berupa hak dan kewajiban.
Akhirnya, kesamaan selera tersebut, perlahan mulai menjadi beban dan terkadang berbentuk paksaan. Kok bisa?
Aku punya teman yang hobinya memancing ikan. Saban hari sabtu, berangkat sejak sudah zuhur, ke kolam bekas penambangan pasir. Selain mudah dijangkau, kolam alami itu juga gratis. Terkadang hingga tengah malam bahkan hari minggu pagi baru pulang.
Pernah sekali aku ikut menemani. Ternyata banyak! Ada belasan orang yang memancing. Karena acapkali bersua di tempat yang sama, mulailah teori interaksi sosial berlaku. Lingkaran pertemanan menjadi semakin erat. Tak sengaja mulai berbentuk komunitas.
Awalnya, temanku mencari umpan sendiri. Sekarang tinggal pesan, dan hanya membawa joran pancing ke lokasi. Sebelumnya, memiliki satu alat pancing, akhirnya punya tiga jenis joran dengan ukuran berbeda.
Aku baru tahu. Ternyata, beberapa bulan belakangan. Temanku itu, malah sudah mulai touring memancing. Tak lagi di kolam bekas penambangan pasir, tapi mulai melebarkan sayap area pemancingan.
Setiap sabtu dan minggu, dengan kendaraan bermotor, kelompok temanku itu, berkeliling Kabupaten Rejang Lebong. Mencari lokasi pemancingan yang strategis. Entah danau, sungai atau kolam pemancingan berbayar.
Mulai terjadi perubahan prilaku, butuh alokasi dana khusus, alokasi waktu, juga tenaga. Saat perayaan tahun baru kemarin. Temanku pergi ke Bengkulu, terus berlayar menuju Pulau Enggano selama satu minggu. Dengan satu tujuan, memancing!
Aku menghormati pilihan dan hobi, serta cara seseorang menikmati hal-hal yang disukai. Mungkin sekedar refreshing atau ruang pelarian dari kesibukan sehari-hari. Sah-sah saja, menurutku.
Lah? Jika kemudian, ternyata istrinya datang mengeluh kepadaku. Ternyata lagi, satu minggu memancing di Pulau Enggano itu tanpa izin atasan hingga mendapat teguran. Dan lagi-lagi ternyata, suaminya berencana bulan depan bersama kelompoknya pergi memancing ke Pulau Mentawai, itu sudah wilayah propinsi Sumatra Barat.
Oleh sang istri, aku diminta memberikan nasehat pada suaminya, agar memancing di lokasi penambangan pasir saja. Terakhir diceritakan, rupanya mereka bertengkar hebat, karena peralatan memancing itu masih hutang. Ketika ada yang datang ke rumah meminta hutang segera dilunasi. Nah!
Kukira, banyak contoh kasus seperti itu di sekitar kita, kan?
Ibuku Bilang, Belajarlah dengan Selera Ahli Masakan.
"Ukua bayang sapanjang badan!"
Bagiku pribadi. Silahkan dan bagus jika kita memiliki selera yang sama dengan dengan orang. Namun seperti ujaran tetua Minangkabau di atas, mesti mengukur juga bayangan yang ada di badan. Artinya harus menghitung dan mengukur kemampuan diri.
Jangan sampai, gegara memiliki selera yang sama. Akhirnya memaksakan diri, selera orang menjadi selera kita. Tanpa disadari, menghadirkan dampak negatif bagi diri sendiri juga  orang-orang terdekat.
Butuh kemampuan dan keterampilan khusus untuk mengatur diri. Apalagi berkaitan dengan rasa dan selera. Karena rasa dan selera susah mencari ukurannya. Ibuku bilang, belajarlah dengan selera ahli masakan.
"Takkan enak, jika masakan tanpa garam. Namun asin garam bukan faktor penentu! Racikan dan sentuhan rasa dari penabur garam yang menentukan keseluruhan masakan!"
Dan, sentuhan rasa itu, yang tahu hanya diri dan hati masing-masing orang. Jadi? Berkaitan dengan selera, sebaiknya tak memaksa diri, termasuk kepada orang lain! Sepakat?
Curup, 17.01.2020
[Ditulis untuk Kompasiana]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI