Setiap sabtu dan minggu, dengan kendaraan bermotor, kelompok temanku itu, berkeliling Kabupaten Rejang Lebong. Mencari lokasi pemancingan yang strategis. Entah danau, sungai atau kolam pemancingan berbayar.
Mulai terjadi perubahan prilaku, butuh alokasi dana khusus, alokasi waktu, juga tenaga. Saat perayaan tahun baru kemarin. Temanku pergi ke Bengkulu, terus berlayar menuju Pulau Enggano selama satu minggu. Dengan satu tujuan, memancing!
Aku menghormati pilihan dan hobi, serta cara seseorang menikmati hal-hal yang disukai. Mungkin sekedar refreshing atau ruang pelarian dari kesibukan sehari-hari. Sah-sah saja, menurutku.
Lah? Jika kemudian, ternyata istrinya datang mengeluh kepadaku. Ternyata lagi, satu minggu memancing di Pulau Enggano itu tanpa izin atasan hingga mendapat teguran. Dan lagi-lagi ternyata, suaminya berencana bulan depan bersama kelompoknya pergi memancing ke Pulau Mentawai, itu sudah wilayah propinsi Sumatra Barat.
Oleh sang istri, aku diminta memberikan nasehat pada suaminya, agar memancing di lokasi penambangan pasir saja. Terakhir diceritakan, rupanya mereka bertengkar hebat, karena peralatan memancing itu masih hutang. Ketika ada yang datang ke rumah meminta hutang segera dilunasi. Nah!
Kukira, banyak contoh kasus seperti itu di sekitar kita, kan?
Ibuku Bilang, Belajarlah dengan Selera Ahli Masakan.
"Ukua bayang sapanjang badan!"
Bagiku pribadi. Silahkan dan bagus jika kita memiliki selera yang sama dengan dengan orang. Namun seperti ujaran tetua Minangkabau di atas, mesti mengukur juga bayangan yang ada di badan. Artinya harus menghitung dan mengukur kemampuan diri.
Jangan sampai, gegara memiliki selera yang sama. Akhirnya memaksakan diri, selera orang menjadi selera kita. Tanpa disadari, menghadirkan dampak negatif bagi diri sendiri juga  orang-orang terdekat.