"Hah? Begitu, ya?"
Begitulah, aku terkejut! Dasar orang kampung, ya? Perjuangan dengan persiapan satu minggu, dilunasi acara seremonial berdurasi sekian jam. Hingga jadual harus pulang ke kampungku di Curup, tak lagi ada waktu untuk bicara. Untunglah, sebelum meninggalkan gedung pertemuan itu, masih ada pelukan dan tawa dari pengantin serta foto bersama. Cukup menjadi pelipur lara. Hiks...
Apakah aku menyesal? Aih, ini pertanyaan sama sekali gak keren!
Saat membaca pertanyaan berikutnya dari topik pilihan "Menghadiri undangan apakah sebagai kewajiban atau hak bagi yang diundang?" Aku akan jawab, tergantung seberapa dekat hubungan antara pihak pengundang dan yang diundang!
Hingga hari ini. Aku masih merasakan pelukan erat yang hangat temanku, dengan bisikan, "Terima kasih, Bang! Maaf gak bisa ngupi-ngupi bareng, kita!" Sambil membalas pelukan, akupun menjawab singkat, "Bahagia sampai tua, Bro! Senang, kamu berani memutuskan menikah!"
Dan, aku masih mengingat tatapan mata bahagia temanku itu. Saat melihat aku memasuki gedung, duduk di barisan depan saat ia melakukan akad nikah. Akupun merasa diperhatikan dari jauh saat ia duduk di pelaminan, serta sibuk bertukar salam dan melalui sesi foto, masih saja mencuri pandang padaku.
Aku hanya membayangkan bagaimana "pertikaian batin" si calon pengantin, dan kesungguhan hati temanku itu, ketika memasukkan namaku dalam daftar  undangan pernikahannya. Jauh hari, tepatnya dua bulan sebelum hari-H, undangan sampai di rumahku. Dan diantar sendiri padahal jauh! Dahsyat, tah?
Sependektahu dan pengalamanku, berkaitan dengan undang-mengundang. Akan ada dua kutub yang saling berhitung. Yaitu Pihak Pengundang dan Pihak yang Diundang. Tapi ini bukan dalam logika matematika, ya?
Kiramologiku, Keputusan dari Pihak Pengundang.