Semisal, bagaimana perasaan keluarga korban? Atau keluarga pelaku kejahatan, yang bisa saja tak tahu tentang apa yang telah dilakukan? Atau dampak psikologi pada anak-anak korban dan pelaku? Bagaimana dengan nama baik lembaga atau instansi dari korban atau pelaku bernaung? Dan atau-atau lainnya?
Apakah, kita sudah dan terbiasa menjadikan media sosial sebagai museum sekaligus kebun binatang? Untuk menarik pengunjung datang?
Mungkinkah Terjadi Pertikaian Aspek Etis versus Sosiologis?
 Semisal kasus Reinhard Sinaga yang sekarang lagi banyak dikupas. Terlepas dari data dan fakta kasus yang telah melalui ketetapan hukum. Aku juga membaca tulisan dari teman-teman Kompasianer. Dengan narasi kegelisahan yang sama!
Tulisan Mbak Muthiah Alhasany dengan judul "Belajar dari Media Inggris, Perlindungan Korban harus Maksimal", Kukira juga menjelaskan perbandingan sikap dan prilaku dari media massa dan netizen di media sosial terkini.
Begitu juga tulisan Mas Fery. W, "Kasus Reynhard Sinaga, Sidang Mulai 2017, Heboh 2010, Kok Bisa?" . Seperti dituliskan, sejak persidangan awal pada akhir Juni 2017, hingga heboh sekarang. Artinya, selama 2,5 tahun pihak terkait menutup rapat kasus ini. Itu butuh standar kerja dan etika moral yang luar biasa, kan?
Menyigi dari aspek hukum. Adalah sebuah keharusan untuk "melindungi" Pelaku. Apalagi korban. Jamak dikenal dengan Presumtione of innocence atau asas praduga tak bersalah.
Coba baca, media massa tempo dulu. Hanya Inisial pelaku atau korban, sekilas kasus dan aturan yang dilanggar. Coba bandingkan sekarang?
Pada kajian etis atau tak etis. Apatah tak sebaiknya menimbang pada tata nilai atau norma yang hidup dan berkembang di masyarakat. Tentang baik atau buruk? Tentang salah atau benar? Atau apakah itu patut atau tak patut?
Apatah sekarang kita sedang berhadapan dengan perubahan prilaku masyarakat (aspek sosiologis), yang perlahan mengubah dan melahirkan standar nilai-nilai yang baru dan menghapus nilai-nilai lama? Sehingga hal yang dulu tabu dan saru, menjadi hal biasa?