"Kenapa dapur Amak ada di medsos?"
Ini komentar kakak perempuanku. Saat kuposting foto anak gadisku yang lagi masak. beberapa hari lalu di facebook. Jawabanku? "Biar orang tahu, kalau Amak punya dapur!"
Ini jelas jawaban ngeyel. Aku fahami, bagi kakakku, dapur adalah area yang pribadi, dan bukan konsumsi publik. Padahal fotonya, sudah kubuat hitam putih sebagai upaya "pengaburan". Tapi, jadi merasa bersalah! Hiks...
Bisa saja itu adalah ungkapan keresahan yang sama dengan yang kurasakan. Beberapa minggu lalu. Hingga aku juga sedikit "meracau" di media sosial milikku. Setelah mendapati di WA Grup, berseliweran foto atau video yang kuanggap tak layak dipajang dan dibagikan.
Semisal, foto atau video korban kecelakaan yang penuh darah, korban perkosaan, korban pembunuhan, bahkan pelaku bunuh diri. Bagiku, mereka (para korban) tak lagi mampu menjaga diri (baca : aib). Terus, kenapa tidak kita yang menutupi itu?
Terkadang, tak hanya sebatas foto dan video, tapi juga dilengkapi dengan biodata diri, alamat, lembaga pendidikan atau tempat korban bekerja, juga data keluarga. Begitu juga, yang dialami dengan pelaku kejahatan atau baru menjadi saksi dan tersangka!
"Biar malu, Bang!"
"Biar kapok, Bang!"
"Biar orang tahu, Bang!"
"Biar... Biar... Biar!"
Aku pribadi, sepakat jika media sosial, apapun bentuknya, bisa dimanfaatkan sebagai wadah jurnalistik warga.
Dampak positifnya, masyarakat terlibat melakukan fungsi kontrol atau pengawasan. Baik terhadap pelaksanaan kebijakan yang dilakukan pemerintah atau perilaku sesama. Ini keren!
Namun hematku, ada beberapa rambu-rambu yang tak bisa dilalui semaunya, jika memaparkan kasus-kasus "istimewa", kan?