Andai Gotong Royong Dihitung sebagai Kekayaan.
Hingga saat ini, pijakan dasar kemakmuran dan kemajuan suatu Negara versi Bank Dunia diukur berdasarkan pendapatan perkapita (jumlah pendapatan Negara dibagi jumlah penduduk). Maka ukurannya adalah pemasukan setiap orang dalam satu tahun.
Tahun 2019 kemarin, kudengar pendapatan perkapita Indonesia pada angka Rp 4,1 juta perbulan. Dengan pemasukan senilai itu, kita betah bertahan dengan julukan negara berkembang.
Pasti ada juga yang gigih dan bercita-cita membeli mobil mewah dan memiliki rumah mewah seperti di negara maju. Namun banyak juga yang hanya sebatas bermimpi. Apalagi gratis, kan? Ups!
Namun, Nilai kebersamaan kita akan tersentuh jika melihat teman sebangsa dan setanah air mengalami musibah semisal banjir, gempa bumi dan sebagainya. Bahkan semangat itu tak berkurang, ketika negara lain juga mengalami hal yang sama.
Terkadang muncul rasa malu selain iba dan kasihan. Melihat orang sekitar yang kelaparan dan kesusahan. Lihat saja berkembang dan semaraknya lembaga filantropi di Indonesia, atau aksi social dan solidaritas yang pernah ada. Dari aksi sosial, pengumpulan uang koin, hingga barang dan pakaian layak pakai. Keren, tah?
Berbasis nilai dan rasa yang demikian. Sangat jarang kita baca, ada berita tentang warga yang kelaparan atau kesusahan. Jikapun ada, hanya sedikit. Dan hal itu akan tertutupi dengan gotong royong warga sekitar dengan semangat saling membantu
Maka, idealnya. Jika gotong royong dihitung sebagai pendapatan Negara. Maka nilainya pasti tak terhingga. Dan, bisa jadi, kita menjadi negara terkaya, termakmur, termaju dan paling dermawan.
Namun, hari gini, narasi gotong royong acapkali terjebak dalam makna yang semakin meluas bahkan tak terkendali. Semisal gotong royong membangun narasi hoaks atau bergotongrotong menilap uang Negara. Aih Sudahlah!
Begitulah! Aku jadi rindu dengan gotong royong seperti dulu. Berkerja bersama, tertawa bersama. Dan, hal itu tak harus menunggu adanya musibah, kan? Dalam hati, aku masih percaya. Nun di pelosok nusantara. Anak-anak negeri masih melakukan gotong royong dengan makna sebenarnya. Dengan jargon "bersatu kita utuh, bercerai kita teduh".