Tetiba menjadi rindu dengan narasi-narasi masa sekolah dulu, semisal "kita dididik sebagai orang timur, dan harus berkepribadian yang luhur," atau "berat sama dipikul, ringan sama dijinjing" atau larangan para tetua, "Jangan lakukan! Itu tabu dan saru!" Aih, beda zaman, beda juga aturan dan prilakunya, barangkali, ya?
Ada rasa bangga, walau hanya menyaksikan dari potongan gambar di layar televisi, di portal berita online serta ragam media sosial. Begitu kukuhnya solidaritas dan soliditas dari relawan, aparat dan masyarakat. Saling membantu dan bahu-membahu, melakukan pemulihan usai musibah banjir di berbagai daerah.
Kukira, tak sebatas jiran tetangga, bahkan ada yang tak saling kenal. Menjadi bukti, nilai-nilai gotong royong belum tergerus perkembangan zaman.
Gotong Royong Itu, Punya Dampak Luarbiasa!
"Anak-anak, besok gotong rotong! Bawa arit, cangkul, sapu atau kain pel!"
Masa sekolah dulu, kalimat instruksi bapak atau ibu guru dengan kata-kata gotong royong, biasanya hari jumat, setelah selesai senam pagi. Akan disambut dengan gegap gempita dan antusias! Walaupun terkadang motivasinya, bisa bebas bermain dan gak belajar di kelas! Iya, kan?
Maka, saat acara gotong royong, tak peduli alat yang dibawa apa, kerjanya malah apa. Semua akan terlibat. Pasti ada juga yang mlipir, tapi tak banyak. Tak perlu pembagian tugas yang ribet, dan tak butuh tarik urat leher apalagi urat saraf.
Anak perempuan, berkuasa membersihkan pernak-pernik di dalam kelas. Menyapu dan mengepel lantai, membersihkan kaca jendela atau papan tulis. Pokoknya, urusan internal serahkan pada mereka.
Nah, jatah anak laki-laki bertanggung jawab bagian luar kelas. Mulai dari merumput, membersihkan taman atau memperbaiki pagar. Terkadang, berbonus membersihkan WC siswa dan WC guru. Hiks...
Seru? Pasti! Apakah bekerja serius? Sebagian iya, sebagian ikutan kerja saat diawasi guru, kan? Tapi semua bakal berfikir. Kerja harus diselesaikan bersama-sama. Biar bisa bebas  bermain sambil menunggu jam pulang! Ahaaay