"Hari gini, masih pakai kapur tulis?"
Begitulah! Rasaku dibuat krenyes-krenyes. Ketika era whiteboard dan spidol serta Layar infocus berkuasa. Diam-diam, aku masih saja terbawa arus kenangan tentang keberadaan kapur tulis, yang perlahan akan dianggap sebagai produk zaman purba.
Di Era Revolusi Industri 4.0 yang sebentar lagi bakal menyebrang ke Era 5.0. Kisah-kisah ajaib sepotong kapur tulis yang bakal menjadi artefak itu, tak akan ditemui dan dialami lagi. Hiks..
Kisahku Bersama Kapur Tulis
Aku pribadi, sekolah dari Taman Kanak-kanak sampai SMA di era behaula. Hingga daya rekat dan daya pikat kenangan terhadap kapur tulis itu terlalu pekat. Apalagi yang warna-warni. Bagiku, kapur tulis tak sekedar alat tulis yang murah, meriah dan multifungsi. Alasannya?
Pertama. Wadahnya merakyat. Cukup papan tripleks yang dipoles menggunakan cat warna hitam. Ukuran tripleksnya suka-suka aja. Sesuai kebutuhan. Biasanya, terpajang di depan kelas, seukuran satu lembar utuh tripleks.
Seingatku, Papan tulisnya dibagi tiga kolom! Papan tulis kotak-kotak untuk belajar matematika atau belajar menulis letter (huruf Indah) saat pelajaran kesenian. Papan tulis bergaris digunakan saat belajar menulis huruf sambung atau tulisan halus kasar. Serta papan tulis biasa.
Kedua. Menghapusnya gampang! Bisa dengan penghapus yang dijual, atau kumpulan sisa kain perca yang dibungkus mirip bantal. Nah, penghapus berbentuk bantal ini menjadi solusi cepat. Jika ada pengambilan nilai tugas mata pelajaran keterampilan. Tinggal pergi ke penjahit untuk meminta potongan kain sisa. Tring! Disulap menjadi penghapus! Ahaay... Â
Atau alternatif darurat karena kebutuhan. Selembar kertas hasil ulangan paling jelek dirobek, diremas dan dijadikan penghapus papan tulis! Hihi..
Terkadang, aktifitas seperti itu, bermanfaat juga untuk membuat "suprise". Semisal tulisan ucapan selamat ulang tahun kepada sesama teman atau guru, ucapan terima kasih juga kata-kata perpisahan buat guru yang pensiun atau pindah tugas. Keren, kan?
Keempat. Kapur tulis sebagai ajang latihan memilih dan menembak sasaran. Bagi guru, sisa potongan kapur tulis seujung kuku, bisa berubah fungsi menjadi senjata yang paling memalukan! Jika ada siswa yang bandel saat jam pelajaran, maka luncuran secara tiba-tiba dari kapur seukuran kuku akan mampu menghentikan itu. Karena siswa langsung dibuat malu!
Atau malah sebaliknya! Akan menjadi hal yang memalukan bagi guru, jika tembakan itu luput gegara siswanya pintar menghindar! Akibatnya? Guru memiliki alasan tambahan mencampurkan rasa marah dan malu karena salah sasaran. Jika sudah begitu, suasana kelas akan menjadi saat yang memilukan bagi siswa. Â Hiks...
Kelima. Terkadang menjadi media perlawanan bahkan penyimpan hal-hal paling rahasia, yang hanya bisa dimengerti oleh orang-orang tertentu.
Bisa berupa ajakan jahil untuk demo terhadap guru yang tak disuka, penentuan lokasi berkumpul saat jam istirahat, ajang pamer tulisan indah, atau pesan-pesan cinta dan rindu yang tersembunyi. Aduhaaaay...
Eh, di luar itu. Dengan alasan memanfaatkan barang sisa (Padahal ada yang bawa masih utuh). Ini, biasanya saat di SD. Ada saja teman yang membawa pulang kapur tulis sisa atau potongan kecil-kecil. Bakal digunakan sebagai media bermain usai jam sekolah. Ada yang pernah? Â
Arus Perubahan menjadi alasan utama, yang memaksa kita untuk bersikap luwes, lentur dan sebuah keharusan untuk mampu beradaptasi. Karena perubahan adalah hal yang mutlak.
Tanpa disadari, perubahan akan menghadirkan budaya baru dan menggerus bahkan menghapus budaya lama. Seperti halnya fungsi kapur tulis yang akan menjadi sejarah. Tergantikan spidol, sekarang layar infocus. Mungkin belum seluruh wilayah Indonesia, ya?
Kisahku, mungkin tak sedahsyat kisah Abraham Samad, mantan ketua KPK. Saat dimarahi sang Bunda, gegara kapur tulis yang diambilnya di sekolah. dan harus dikembalikan lagi ke sekolah. Kemudian menjadi pijakan Tokoh Inspiratif 2014 itu, mulai belajar tentang korupsi.
 Aku hanya membayangkan, wajah anakku yang terpana mendengar cerita tentang kunang-kunang yang mulai hilang. Penasaran dengan cara memancing belut, karena sawah beralih fungsi lahan.
Atau merasa heran melihatku mampu membuat layang-layang, berbekal selembar kertas koran bekas. Dan, sesaat lagi bakal membaca tulisanku tentang kapur tulis ini sebagai kenangan. Hiks lagi...
Hampir lupa!
Kapur tulis, tak akan pernah merusak dan mengotori pakaianmu. Sama halnya dengan cintaku padamu. Gubraaak!
Curup, 07.12.2019
[Ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H