Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jangan Takut Dianggap Berbeda, Teman!

4 Desember 2019   09:10 Diperbarui: 4 Desember 2019   20:51 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bang! Beda boleh, kan?"

Ada saja yang menanyakan itu. Aku belum tahu, phobia jenis apa atau trauma merek apa, hingga banyak orang takut dianggap berbeda. Padahal, perbedaan itu malah menjadi identitas! Gak percaya?

Candi Borobudur di Indonesia, Menara Pisa di Italia, Piramid di Mesir, Menara Eifel di Prancis, Tembok Besar di Tiongkok atawa Patung Liberty di Amerika. Menjadi simbol dan indentitas suatu negara. Karena tak ada yang "persis" sama di tempat lain.

Beberapa contoh di atas, kalau di bidang ilmu civic education, disebut karakter nasional (national character)! Hal itu bermakna, ciri khas suatu negara, yang 'berbeda" dari negara lain. Begitu juga dengan semua orang yang ada di dalamnya. Tah?

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Beberapa Kisah Masa Sekolah.

Jika dulu punya teman waktu SD dulu, memiliki tahi lalat gede di pipinya, yang tak dimiliki oleh teman yang lain. Maka ingatan yang melekat di kepala adalah "Si Tahi Lalat!"

Begitu dengan teman SMP. Masa awal remaja ditandai, dengan mulai memperhatikan dan tertarik lawan jenis. Walau masih rada malu-malu, tapi  ingin diperhatikan, kemudian memutuskan tampil beda!

Segala usaha dilakukan untuk mendekati "si dia". Boro-boro menerima balasan perhatian atau selarik senyuman, malah "si dia" memakai jurus menghindar. Atau malah diganjar muka rata. Perih! Hiks..

Dan ingatan terhadap si dia, akan tersimpan dalam laci kenangan paling bawah. Diberi tanda "Si Muka Rata". Ahaaay...

Begitu juga saat SMA. Ketika adrenalin dan gejolak remaja nyaris mencapai puncak. Ada saja teman yang menggunakan ciri-ciri tertentu. Agar diingat, dikenal atau diperhatikan.

Semisal anak cowok menggunakan pakaian serba hitam, dari ujung kaki hingga ujung kepala. Dan anak cewek memakai busana dan asesoris lainnya serba biru. Tentu saja dengan gampang, isi kepala akan merekatkan simbol "Si Hitam" atau "Si Biru"! Iya, kan?

Jadi, tahi lalat, muka rata atau si hitam dan si biru menjadi identitas teman di ingatan, untuk bertahun-tahun lamanya. Bisa saja ada perubahan, tah? Karena itu adalah ciri khas atau yang membedakan antara teman yang satu dengan teman yang lain dulu. Kan? Kan?

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Terkadang, Berbeda Itu Bukan Pilihan.

Makna berbeda atau dianggap berbeda, terkadang memang lahir dari keinginan. Namun ada juga gegara keterbatasan diri pribadi atau lingkungan sekitar. Sehingha tak ada pilihan lain.

Coba simak cerita mini yang kutulis tadi malam, ya? Aku berikan contoh, jika berbeda itu bersebab keterbatasan.

"SI BIRU"

Kau tahu? Tak perlu mencari tantangan yang memacu adrenalin. Semisal mendaki gunung terjal, mengarungi jeram sungai nan banal, atau bertarung dengan seekor karbau liar berbekal tali berukuran tebal.

Cukup dengan menaklukan sosok gadis manis, berkerudung dan berkacamata.

Tak sengaja, kuhitung sudah dua minggu gadis itu melewati rumahku. Setiap pagi dan sore. Kudengar, tetanggaku menyapanya dengan nama panggilan Nia.

Aku, diam-diam telah memberinya panggilan istimewa. Dan, lebih suka menyapanya dengan julukan "Si Biru". Serasi dengan seragam yang setiap hari dikenakannya.

"Hai, biru!"

Gadis berseragam biru, tersenyum padaku. Tak ada sajian muka rata, seperti bisikan para pemuda yang setiap malam berkumpul di rumahku. Kukira, si biru nyaris menahan tawa. Pagi itu, kurasakan suasana hatiku bahagia seperti matahari yang cerah ceria.

Aku merasa lega. Kau pun harus tahu! Baru pada hari kelimabelas, keberanian untuk menyapa itu hadir. Dan sikap sok akrab adalah pilihan terbaikku. Agar Si Biru mengingatku.

Benar saja! Si Biru mengingatku. Bahkan, tawanya semakin renyah. Setiap pagi dan sore. Aku akan berdiri di depan pintu rumah.

"Hai Biru! Pergi kerja, ya?"
"Hai Biru! Baru pulang, ya?"
"Hai Biru..."

Lewat satu bulan. Hanya tiga sapaan itu. Tak pernah ada percakapan. Si Biru selalu tertawa. Orang-orang yang melihatku juga tertawa. Akupun tertawa. Aih! Apa salahnya berbagi bahagia?

Pada hari minggu kemarin. Bocah kecil yang biasa kupanggil Mentor, berkunjung ke rumah, dan merusak semuanya. Aku masih memikirkan ucapan si biang rusuh itu.

"Kek! Baju Nia itu warna hijau. Bukan biru!"

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Akhirnya...

Berbeda atau dianggap berbeda dalam tulisan ini bukan dimaksudkan berprilaku sengaja "aneh" atau "ngeyel". Yang dilakukan sekedar mencari sensasi untuk kemudian basi dan mati. Tapi beda yang " bernilai dan berkelas!"  Ahaay..

Selain itu, kenapa juga menitikberatkan pemikiran pada perbedaan? Mengapa tidak mengeksplorasi titik-titik persamaan? Hingga kemudian, kemana saja kaki melangkah atau berpaling wajah, Kita mendapatkan sajian senyuman yang ramah.

Sepakat? Hayuk salaman...

Curup., 04.12 2019
zaldychan
[Ditulis untuk Kompasiana]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun