Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kisah Si Sulung dan Ikan Mas

21 November 2019   11:15 Diperbarui: 21 November 2019   12:09 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by pixabay.com

Hari itu jumat. Seperti biasa, kuajak si Sulung ke masjid Aljihad. Saat itu, usianya belum menginjak tiga tahun. Bersebab masih suka berlarian, dan agar tak mengganggu jamaah lain, maka kupilih mengajak si Sulung shalat di lantai dua.

Karena ada salah satu jamaah yang meninggal. Usai sholat jumat, dan melakukan sholat jenazah. Kuajak si Sulung ikut ke kuburan, dan melihat prosesi penguburan itu di barisan terdepan. Tanpa suara dan tanpa tanya, si Sulung memperhatikan semuanya.

"Kenapa dimasukkan ke tanah,Yah?"

Dengan pilihan kata terbatas, lahirlah pertanyaan dari si Sulung. Setelah pulang, dan sampai di pintu rumah, Wajah dan tatapan itu menunggu jawabanku. Maka kupilih jawaban paling gampang. Semua yang hidup akan diperlakukan seperti itu. Termasuk aku, ayahnya. Tak lagi ada pertanyaan. Tersamar, kudengar ucapan dari mulut mungilnya, "kasihan!"

"Kenapa kasihan, Nak?"

Kejaran pertanyaanku, diabaikan. Tak ada jawaban dari si Sulung. Sudah berlari ke dalam rumah mencari ibunya.

***

Suatu sore. Pakde-nya si Sulung singgah ke rumah. Ternyata baru pulang dari pasar, dan membeli ikan mas yang masih hidup. Sejak kedatangan Pakde, si Sulung betah memperhatikan dan tak pernah jauh dari ikan mas yang ada di kantong belanjaan Pakde-nya. Ia sibuk memperhatikan bentuk sirip dan ekor yang panjang, terlihat mirip ikan hias yang sering ditonton di televisi.

Melihat si Sulung yang antusias dengan ikan yang dibawa. Sebelum pulang, oleh Pakde ditinggalkan dua ekor Ikan Mas yang dipilih sendiri oleh si Sulung. Warna hitam dan  kuning.

Tak ada akuarium di rumah. Maka dua ekor ikan itu sementara diletakkan di dalam baskom kecil. Dan, si Sulung sibuk bereksperimen! Berkali, menangkap, memegang dan melepas dua ekor ikan itu. Atau memutar secara acak, air di baskom seperti pusaran.

Akibatnya, menjelang maghrib. Ikan mas berwarna hitam, mati. Butuh diskusi panjang disertai bujukan antara ibunya dan si Sulung.  Akhirnya, ikan berwarna kuning dimasukkan ke dalam bak mandi. Si hitam? Digoreng dan dijadikan lauk makan malam si Sulung.

***

Kurang lebih dua minggu. Si Kuning, nama ikan pemberian si Sulung, dipelihara dan diberi makan setiap hari dengan sejumput nasi putih. Dalam keseharian, si Kuning menjadi bahan cerita dan sebagai mainan, walau hanya bisa dipandang. Siapapun yang bertamu ke rumah, akan diajak ke kamar mandi. Untuk melihat si Kuning.

***

Suatu pagi. Kutemukan si Kuning mati dan mengapung di bak mandi. Kupanggil dan kubantu si Sulung mengambil bangkai si Kuning dari dalam bak mandi. Tampak raut kesedihan dan kehilangan di wajahnya.

"Dikubur, Yah!"

Tak ada diskusi panjang. Tak ada usulan dari ibunya, agar si Kuning dijadikan lauk. Semua sepakat dengan keputusan si Sulung.

Setelah mufakat, kain kafan diganti kertas koran. Di halaman kecil depan rumah, di bawah pohon pepaya. Kutemani si Sulung melakukan prosesi penguburan si Kuning, seperti yang dilihatnya saat kuajak ke kuburan.

Mulailah si Sulung menggali lubang dengan sendok pasir plastik mainan, meletakkan si Kuning dengan posisi menyamping menghadap kiblat, perlahan menutupinya dengan timbunan tanah hasil galian. Semua dilakukan tanpa suara. Usai membentuk gundukan tanah, seperti jamaknya kuburan. Si Sulung mengangkat tangan, matanya terpejam dan mulutnya bergerak pelan. Kukira, ia berdoa untuk si Kuning dengan cara anak usia tiga tahun. Aku? Mengikuti apa yang dilakukan si Sulung.

"Kasihan, si Kuning, Yah!"

Kalimat itu, kembali keluar dari mulut si Sulung. Satu minggu berlalu. Kematian si Kuning, proses penguburannya serta kata kasihan menjadi topik pembicaraan si Sulung. Dan, akan marah, jika ada yang tertawa mendengar kisahnya.

"Jangan tertawa! Kasihan!"

Sejak itu, si Sulung tak lagi berminat menyantap ikan. Apapun jenis ikannya, dengan beraneka cara, ibunya mengolah masakan ikan. Si Sulung akan gelengkan kepala, sambil berucap, "kasihan!"  

***

"Hallo? Ayah?"

"Apa kabar, Nak?"

"Hamdallah, sehat, Yah!"

"Sudah makan?"

"Baru selesai?"

"Apa menu di asrama, malam ini?"

"Sambal ikan, Yah!"

"Eh? Sudah mau makan ikan?"

"Sudah!"

"Enak, kan?"

"Haha..."

Aku tersenyum, mengingat percakapan tadi malam. Aku menghubungi di Sulung melalui ponsel milik gurunya. Saat ini, limabelas tahun usia si Sulung. Dan lagi berjuang di Padang. Belajar merantau bersekolah dan tinggal di dalam asrama.

Aku tak tahu, sejak kapan si Sulung sudah mulai menyantap ikan. Mungkin, karena tinggal di asrama. Jadi, lauknya tak ada pilihan lain. Aih! Semoga selamanya.

Curup, 21.11.2019

zaldychan

[Kutulis kisah ini untuk Kompasiana]

Sejak tahun 2014, Tanggal 21 Nopember ditetapkan sebagai Hari Ikan Nasional

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun