***
Kurang lebih dua minggu. Si Kuning, nama ikan pemberian si Sulung, dipelihara dan diberi makan setiap hari dengan sejumput nasi putih. Dalam keseharian, si Kuning menjadi bahan cerita dan sebagai mainan, walau hanya bisa dipandang. Siapapun yang bertamu ke rumah, akan diajak ke kamar mandi. Untuk melihat si Kuning.
***
Suatu pagi. Kutemukan si Kuning mati dan mengapung di bak mandi. Kupanggil dan kubantu si Sulung mengambil bangkai si Kuning dari dalam bak mandi. Tampak raut kesedihan dan kehilangan di wajahnya.
"Dikubur, Yah!"
Tak ada diskusi panjang. Tak ada usulan dari ibunya, agar si Kuning dijadikan lauk. Semua sepakat dengan keputusan si Sulung.
Setelah mufakat, kain kafan diganti kertas koran. Di halaman kecil depan rumah, di bawah pohon pepaya. Kutemani si Sulung melakukan prosesi penguburan si Kuning, seperti yang dilihatnya saat kuajak ke kuburan.
Mulailah si Sulung menggali lubang dengan sendok pasir plastik mainan, meletakkan si Kuning dengan posisi menyamping menghadap kiblat, perlahan menutupinya dengan timbunan tanah hasil galian. Semua dilakukan tanpa suara. Usai membentuk gundukan tanah, seperti jamaknya kuburan. Si Sulung mengangkat tangan, matanya terpejam dan mulutnya bergerak pelan. Kukira, ia berdoa untuk si Kuning dengan cara anak usia tiga tahun. Aku? Mengikuti apa yang dilakukan si Sulung.
"Kasihan, si Kuning, Yah!"
Kalimat itu, kembali keluar dari mulut si Sulung. Satu minggu berlalu. Kematian si Kuning, proses penguburannya serta kata kasihan menjadi topik pembicaraan si Sulung. Dan, akan marah, jika ada yang tertawa mendengar kisahnya.
"Jangan tertawa! Kasihan!"