"Boleh, Yah?"
"Kau mampu, kan?"
"Insyaallah, Yah!"
"Segerakanlah!"
***
Aku mengerti. Begitu banyak pujangga menuliskan keindahan purnama bulan. Ketika jarak pandang mata, tak lagi mampu mengeja bilik-bilik cahaya di kegelapan.
Begitu yang kurasakan tadi. Ketika mataku memandangmu di kejauhan. Menyaksikan percikan cahaya mentari yang menyentuh wajah bahagiamu. Melihat garis senyummu yang betah melekat erat di sudut bibirmu.
Kau melemparkan pandangan pada semua undangan. Bergegas menyalami setiap tangan-tangan yang ikut serta merayakan hari bahagia. Kau duduk di singgasana, berdua separuh jiwamu. Milikmu. Dan aku terdiam, sibuk meracik doa terbaik untukmu.
***
Tak sekedar keindahan. Senja menyimpan misteri paling rahasia, sebagai kisi-kisi perjalanan kehidupan. Bagaimana manusia mampu menikmati segala fenomena yang disajikan semesta. Juga belajar mengobati kehilangan dengan wujud kerelaan, yang acapkali bersembunyi di jagat raya.
Akan ada saatnya, angin mengajak pulang gelombang menuju luas samudra. Membiarkan tepian pantai dan karang terjal, mengeja laju waktu di sudut penantian. Namun, alam memberi tahu. Itu adalah perjalanan waktu tunggu yang sepi. Dari sebuah perpisahan yang abadi.