Pilihan terbaikku, adalah mengikuti alunan irama yang kau tawarkan. Dan, kubiarkan anganku berlayar mengikuti inginmu. Menunggu angin menghampiri, berkisah tentang rahasia-rahasia kehidupan yang tersimpan di dasar hatimu.
***
"Aku pamit, Yah!"
Punggung kukuhmu, mengajak pergi seribu satu keinginanku. Menyisakan jejak senyuman, dan bekas bibir yang tak mungil lagi, sekilas menyentuh tanganku.
Kepergianmu, mengajak pulang kerinduan. Berkuasa di setiap ruang-ruang persembunyian. Mengisi kesepian di dalamnya dengan potongan-potongan kecil kenangan. Yang terbiar berserakan, di antara kebisuan-kebisuan tunggu yang berdebu.
Aku mengingat tangismu, saat terjatuh usai memanjat kursi ruang tamu. Atau saat langkah kecilmu, perlahan membuat jarak dari pelukanku. Berjalan sesuai keinginanmu, tanpa aku. Tawamu hadir ketika itu, jika aku mengikuti irama tangismu. Kau dan aku tahu. Tangisanku itu, untuk membujukmu.
Masih lekat di ingatanku, kesibukan rasamu menahan tangis, dan telapak tangan kananmu terburu menyeka airmata. Saat kau mulai belajar berlari, dan terjerembab di halaman. Matamu menatap wajahku. Mataku menatap lukamu. Saat itu, tak ada tawa. Kau dan aku  merasakan perih yang sama. Berdua. Tanpa suara.
Akh! Ada begitu banyak titik-titik ingatan yang membujur panjang menjadi garis kenangan. Kubiarkan tersimpan rapi, sebagai prasasti sepi di hati. Bahwa kau masih kumiliki.
***
Butiran hujan, tak pernah mampu menghentikan ribuan kisah kemarau. Ia akan pergi sementara, hanya untuk kembali pada waktu yang tak pernah pasti. Hujan hanya pertanda, kegersangan yang ditinggalkan kemarau akan segera hilang.
Pun butiran hujan, tak pernah bisa menghapus ribuan kisah perjalanan. Tak mampu melerai risau pertikaian yang dilahirkan dari sebuah keinginan. Tak pernah membelai desau kesepian yang dihadirkan kehilangan. Bahkan, tak mampu mencegah kepergian sebagai pintu terakhir perjumpaan.