Kau mungkin tak lagi perduli. bagaimana oksigen menyembunyikan jati dirinya tanpa bentuk, untuk kemudian menjajah paru-paru, mendorong aneka partikel yang bersemayam pada sel darah, bersekutu memacu jantung, untuk menguasai ujung kepala hingga ujung kaki.
Pun, tak lagi kau rasakan kehilangan pada kegelapan malam, karena ketika usai putaran laju waktu pasti akan kembali. Dan malam tak pernah menyajikan kesunyian. Setidaknya bulan dan beberapa titik bintang, akan mengintip dari tempat persembunyian.
Atau kau sama tak pedulinya, ketika butiran embun terhampar di dedaunan hijau usai subuh, untuk kemudian memudar saat pagi mengajak matahari merajai hari. Bagimu,itu adalah dialektika kehidupan. Mereguk titik-titik perjalanan untuk menyigi garis takdir.
"Mas..."
Hanya kata itu yang meluncur dari getaran bibir tipismu. Tak lagi ada ucapan, ketika gerak perlahan tubuhmu mengikuti alur rasa, terengkuh pasrah dalam pelukan. Sunyi menguasai malam itu. Kau diam. Seperti sunyi dan diamnya kalender, yang tergantung di dinding ruang tamu. satu hari, sebelum hari ini. Lima belas tahun lalu.
***
Kau tak mungkin menghitung waktu yang deras berlalu, atau membendungnya, menjadi kolam-kolam kecil atau danau-danau buatan. Berisikan cerita tentang merdunya suara biduan menyajikan lagu kesukaanmu di pesta pernikahan, atau sebutir telur dadar sedikit gosong yang disajikan dengan wajah malu di atas meja makan. Saat itu, pagi hari ketiga perkawinan.
Bisa saja kolam atau danau itu, kau penuhi dengan foto-foto lelaki kecil dengan tumpukan daging di setiap persendiannya. Atau kisah drama, saat gadis kecilmu, memainkan lipstick milikmu yang dioleskan pada pipi boneka hello kitty. Akh! Suaramu akan lenyap dalam tawa yang dalam. Untuk kemudian terdiam bersama beningmu yang perlahan menemukan alurnya.
"Mereka sudah besar, Mas!"
Jika sudah berucap kalimat seperti itu. Maka terik matahari akan terasa redup walaupun  berdiri di tengah lapangan pukul satu siang hari. Atau seperti menelan duri yang bersembunyi di sepotong kecil agar-agar warna-warni. Biasanya, akan kau benamkan wajahmu di balik bantal, berharap segera pagi.
***
Bertahun lalui waktu bersamamu. Bagiku, airmatamu seperti rumah kosong yang belum selesai. Tak berjendela, tak berpintu, tak memiliki lantai dasar tempat berpijak. Pun tanpa aturan waktu. Tanpa aba-aba dan tak terduga, airmatamu akan hadir sesuka rasa, hati dan pikiranmu.
Airmata itu, bisa terjadi sebab aku terlupa menghabiskan segelas kopi yang kau sajikan di waktu pagi. atau saat kau berkisah tentang pakaian yang dijemur kembali basah terhempas air hujan. Atau karena tak sengaja mendengar ucapan tetangga, yang membuat telingamu tak nyaman.
Terkadang, Ketika anak lelakimu kesulitan bernafas karena flu, hingga mengganggu nyenyak tidurnya juga lelapmu. Atau menyaksikan gadis kecilmu demam tinggi akibat radang tenggorokan dengan batuk yang menimbulkan nyeri saat musim kemarau bertamu. Airmata, adalah obat resah dan risaumu.
"Sebentar lagi, Kita akan dipanggil kakek dan nenek, Mas!"
Kuusap pelan kepalamu. Hanya menyajikan segari senyuman untukmu. Tak mungkin kuhadirkan tawa padamu. Kau akan menyiapkan serbuan butir airmatamu. Aku tahu, anganmu sudah melampaui waktu, mengembara bersama mimpi-mimpimu.
Saat itu, dan malam itu. Anak-anakmu terlelap dalam tidur, dan masih duduk di sekolah dasar.
***
"Ayaaah!"
Bergantian, pelukan anak-anakmu merengkuh tubuhku. Untuk kemudian menghilang dari ruang tamu. Â
Aku memandangmu. Rasaku sibuk berbicang tentang masa lalu. Sudah-bertahun kulewati itu. Kecantikanmu tak pernah usang oleh waktu. Aku tahu, berkali airmataku menggantikan hadirmu. Satu hari, sebelum hari ini.
Akh! Aku merindukan suara anak-anakku memanggilmu.
"Ibuuu...!"
Curup, 27.10.2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H