Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Kado Terindah] | Di Antara Butir-butir Hujan

11 Oktober 2019   20:01 Diperbarui: 11 Oktober 2019   20:07 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by pixabay.com

Usai gerimis yang hadir sore itu. Aku mengunjungimu. Hanya aku, Abang juga sepi yang menemani sunyi. Langit masih betah berselimut mendung.

Kukira, Abang pasti mengerti. Tak perlu kuujarkan, ketika motor biru itu bertukar arah. Sore itu, Aku ingin Abang mengunjungimu, sebelum kedua kakinya melangkah jauh. Mengukir sketsa mimpi yang ia miliki.

Kelopak layu mawar merah, tak lagi berwatna merah jambu. Abang duduk terdiam di sisiku.

"Abang laki-laki, kan?"
"Hah?"
"Ayah percaya Abang!"

Sekilas, mata yang selalu mengingatkanku adamu, menatap wajahku. Hanya sesaat, dan kembali mengeja ukiran namamu yang terpahat bisu lalui waktu.

"Jaga diri!"
"Iya, Yah!"
"Jangan memulai dari salah!'
"Iya..."
"Ingat dan doakan ibu!"

Wajah Abang tertunduk. Kurasakan, Abang akhirnya tahu alasanku. Sore itu,, kenapa sengaja kuajak pergi bersamaku. Mengunjungimu.

Kau tahu? Dua tahun terakhir, tak banyak kalimat yang kuujarkan untuknya. Walau Abang tak pernah berucap itu, aku tahu, ia ingin mengukir jalannya sendiri.

Aku tak tahu. Apakah kau akan sepertiku. Membiarkan Abang mengeja asa dengan cara yang diinginkannya. Melepas jauh dari penjagaan mataku, mengukur jarak yang berbatas ruang dan waktu. Kuharap, kau pun sepertiku.

"Abang tahu, Ayah dulu seperti Abang, kan?"
"Iya."
"Tak perlu memaksa diri!"
"Iya, Yah!"
"Ayah tak peduli hasil! Belajarlah hidup mandiri!"
"Iya."
"Jangan pernah curang! Lakukan semampu Abang!"
"Iya, Yah!"

Abang mengerti kalimat itu. Pun mengerti nada suara yang terucap dari mulutku. Kau tak akan pernah tahu! Bagaimana kuredam rasa untuk ujarkan itu.

Mendung lenyap. Berganti rintik hujan yang kembali hadir menyapa sore itu. Kau pasti tahu, tiba saatnya. Aku hari pergi sore itu.

"Hujan! Kita pulang, Bang!"

Abang menunduk, anggukkan kepala. Kuharapkan, hatinya menyimpan percakapan sore itu. Di seluruh hidupnya.

Akupun ingin, di mana pun adamu kini. Kau mengerti. Saat ayun langkah kakiku mendahului pergi, meninggalkan Abang sendiri.

Di antara butir-butir hujan. Dua telapak tangan itu tengadah di hadapan wajahnya. Kubiarkan Ia mengenangmu. Mengingatmu. Dan, berucap doa untukmu.

Curup, 2019
zaldychan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun