Tak lagi ada suara. Kau diam. Matamu menikam manik mataku. Pilihanku pun diam. Redam rasa. Simpan asa. Tak perlu kuhambur ujaran. Kau tak lagi butuh ucapan. Yang terbaik saat itu, adalah bertahan dan bersabar.
Kau tahu aku. Bak pengawas. Kau saksi nyata perjuangan dan penderitaanku. Dan kau takkan biarkan tetap begitu. Hanya menunggu waktu. Cepat atau lambat. Segala sesuatu akan kembali berpihak. Kau dan aku yakini itu.
"Mas..."
"Apa?"
"Mas tak menyesal?"
"Tentang?"
"Memilih Nunik!"
"Gak ada pertanyaan lain?"
"Karena Nunik..."
"Kenapa gak nanya dari awal?"
Aku tahu makna hati. Hanya segumpal daging. Acapkali bolak balik. Aku pun mengerti. Kau perempuan. Di jejak usiamu saat itu. Kurasa, kau tak butuh penegasan. Bukti, bukan janji. Nyaris sembilan tahun lalui waktu bersama. Tak cukup bagimu.
Kau diam. Aku menatapmu. Meraba arah bicaramu. Sorot matamu tak berjawab. Kutitip asa di matamu, biar bersemayam ke hatimu. Bilik kecil yang kukuh dan teguh. Bersedia lalui aral dan lucuti onak. Itu, sudah kau lalui bersamaku.
"Kenapa tanya itu?"
"Entahlah!"
"Nik?"
"Nunik merasa bersalah! Nik tahu kalau..."
"Iya. Mas menyesal!"
"Hah?"
"Kenapa dulu sepakat dengan syarat itu!"
"Karena Nunik dilarang untuk..."
"Jika tetap ingin bersama, kan?"
"Iya!"
"Mas sepakati. Karena mas memilih Nunik! Dan, Nunik abaikan larangan. Karena..."
"Nik gak mau kehilangan Mas lagi!"
"Tadi, kenapa ditanya?"
Aku tersenyum menatapmu. Kuacak kepalamu. Wajahmu memerah. Kuduga kau jengah dengan ucapanmu. Tak banyak kudengar ujaran langsung dari mulutmu. Tentang rasamu juga asamu padaku.
Aku tertawa. Saat dua tanganmu tutupi wajahmu. Tak lama, dua tangamu sudah membentuk duet maut. Bersekutu padu menghajar pinggangku. Perih dan bersisa hangat. Tawaku terhenti.
"Cubitan barusan, hasil kursus dimana?"
"Lagi?"
"Gaaak! Pasti Nunik lulusan ter...!"
"Iiih...:"
Kalimatku tak selesai. Duet jarimu, bak serdadu serbu. Tapi tak sedahsyat tadi. Aku sedikit ragu. Lebih mirip gelitik dari pada cubit. Kau tertawa. Segera melirik jam. Dan berdiri dari dudukmu.
"Nik pulang, Mas!"
"Lah?"
"Udah jam tiga!"
"Datang cuma numpang nangis?"
"Biar!"
Kau bergegas ke ruang makan. Naiki tangga. Agaknya, kau akan pamit ke Amak. Hanya sesaat. Kau kembali temui aku di ruang tamu. Tersenyum sambil berdiri.
"Nik mau pamit. Tapi Amak tidur!"
"Setengah jam lagi. Mau ashar. Amak akan bangun!"
"Tolong pamitkan, ya?"
"Mas antar?"
"Jangan sekarang!"
"Biar..."
"Mamaas!"
"Iya, ngerti! Yang penting, Nik jangan hilang!"
"Nik pulang, ya?"
"Bentar!"
"Kenapa?"
"Gak bilang sayang?"
"Gak!"
"Rindu?"
"Haha..."
"Cinta?"
"Gak! Mas juga gak pernah, kan?"
"Barusan?"
"Iiih..."
get married | those three words | just the way I am | meeting you was fate
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H