Siang itu hangat. Terik matahari di angka satu. Terdengar, jejak langkah naiki tangga. Tak perlu kutanya. Wajah Amak hadir di ujung tangga. Pulang dari masjid. Amak tersenyum padamu. Kemudian menatapku.
"Gak malu! Nunik datang. Belum bangun!"
"Salah Nunik, Mak!"
"Eh! Kok, Salahkan Nunik?"
Kupilih strategi keliru. Gunakan kata salah. Di hadapan dua perempuanku. Aku tertawa garuk kepala. Amak memilih duduk di sebelahmu. Kau tersenyum.
"Kalau begitu, salahkan matahari aja!"
"Lah?"
"Kenapa terlalu cepat keluar!"
Nyaris bersamaan, kau dan Amak tertawa. Ucapan salam terdengar di lantai satu. Dua adikku pulang. Evi mengajar di SD dan Chal masih kelas dua MA. Keduanya, segera naik ke atas. Bertukar salam, dan menghilang ke kamar masing-masing.
Kau menatapku. Kutunjuk ke beranda. Kau geleng kepala. Dan anggukkan kepala, saat telunjukku ke bawah. Kau dan aku bicara tanpa suara. Wajahmu memerah, ketika Amak melihat anggukanmu. Aku tertawa.
"Amak mau nonton, kan?""
"Hah? Tadi rencana Amak..."
"Nik! Ke bawah, yuk?"
Tak lagi menunggu. Aku turuni tangga. Usai zuhur, pulang dari masjid. Kebiasaan Amak adalah menonton TV, kadang hingga tertidur. Jelang ashar bangun. Kembali ke masjid. Pulang ke rumah, langsung sibuk di dapur untuk siapkan perbukaan.
Aku duduk di ruang tamu. Kukira Amak sudah nyalakan TV. Kau menyusulku ke ruang tamu. Duduk di sisiku. Aku tersenyum. Kau tidak. Dari matamu, aku jadi tahu. Alur lalu waktu.
"Nik puasa?"
"Iya!"
"Mau ngomong, kan?"
"Iya! eh, Gak! Nunik cuma..."
"Ada masalah di sekolah?"
"Gak!"
"Dengan Uda? Atau Teteh?"
Terlambat! Beningmu tak bisa kucegah. Perlahan gelengkan kepala. Kau tundukkan wajah. Kubiarkan, hening menata rasamu. Lebih baik kutunggu. Kau takkan datang, jika hanya sekedar aku melihat mataair matamu.
Sunyi penuhi ruang tamu. Kau bertahan dengan rasa dan airmatamu. Tak bersuara. Aku pun jadi tahu. Kau ingin aku yang bertanya. Kuusap pelan kepalamu.
"Mas ambilkan minum, ya?"
"Nik puasa, Mas!"
"Kalau Nangisnya lama, Mas buatkan teh! Biar tambah semangat!"
Perih terasa di pinggang kiriku. Duet jarimu beraksi. Kau berusaha menahan tawamu. Aku tersenyum. Kuacak kepalamu. Kau usap beningmu.
"Mau cerita?"
"Nik..."
"Gak usah paksa. Kalau gak mau!"
"Nik minta maaf, Mas!"
"Kan, tadi udah?"
"Pulang kemarin! Nik..."
Kalimatmu terputus. Kali ini, tanganmu raih lenganku. Cengkrammu semakin erat. Berusaha menahan tangismu. Tapi gagal. Beningmu hadir lagi.
Aku terbiasa hadapi itu. Sesaat kugenggam erat tanganmu. Perlahan kulepas cengkrammu dari lenganku. Kau terkejut menatapku. Yang berdiri di hadapmu.
"Pesan teh manis atau teh pahit?"
Plak! Pluk! Plak! Pluk! Plak!
get married | those three words | just the way I am | meeting you was fate
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H