Saat itu awal juni. Tahun duaribu tiga. Satu minggu jelang ramadhan. Udara Curup terasa lembab. Tapi tak ada tanda akan hujan. Kulirik jam di dinding ruang tamu. Jarum pendek beranjak ke angka tiga. Belum ada gerakmu untuk pulang.
Kau dan aku duduk dalam diam. Mengisi ruang dengan sunyi, menikmati lalu waktu dalam hening. Aku menatapmu. Sejak tadi, tak lagi ada tangismu juga jawabmu. Hanya jemarimu, rengkuh erat lenganku.
"Tak mau jawab?"
"Mas udah tahu, kan?"
Aku terdiam. Mataku lekat menatapmu. Kau sepertiku. Tak perlu lagi berujar rasa. Kau dan aku miliki asa yang sama. Akankah terwujud? Jika rasa iringi keyakinan? Adakah asa lebihi keyakinan?
"Maafkan Mas, ya? Saat ini... "
"Mas!"
"Nik butuh empat bulan beritahu Mas. Kalau Mamak..."
"Tapi Nik belum..."
Kalimatmu tertelan sunyi. Kukira tak perlu kata tanya. Jelaskan alur fikirmu. Kau pun tahu. Bukan tak mau. Kulakukan yang kumampu dengan caraku. Untuk memilikimu.
"Mas pernah bilang. Kalau Nik izinkan. Mas akan datang, kan?"
"Iya!"
"Artinya terima apapun adanya Mas, kan?"
"Mas..."
"Mas tak bisa janji! karena Mas tak..."
Kalimatku tak selesai. Telapak tanganmu membekap mulutku. Memaksaku berhenti. Kau menatapku. Gelengkan kepala. Lagi dan lagi. Beningmu menyeruak. Perlahan mataair matamu kembali temui alurnya. Kau biarkan aku telisik itu. Dan berakhir. Saat jemarimu, usap bening di sudut mataku
Lalu waktu merambat lambat. Kusandarkan tubuh di kursi tamu. Benakku menakar asa. Rasaku meramu angan. Naluriku menyigi resah. Tapi aku tahu. Tak perlu memaksa, jika tak ingin usai.
"Maafkan Mas, ya?"
Kuusap kepalamu. Aku tersenyum. Tak kutunggu reaksimu. Kureguk kopi terakhir. Nikmati asap rokokku. Kau diam, mengusap sisa beningmu. Merapikan jilbabmu. Sekilas melirik jam dinding. Aku menatapmu.
"Pulang?"
"Hampir ashar, Mas!"
"Mas antar sampai gang, ya?"
Kau tersenyum. Segera ke dalam. Agak lama. Baru kudengar tapakmu jejali anak tangga. Kukira, kau pamit pada Amak di lantai dua. Kau temui aku di ruang tamu. Wajahmu kembali segar. Kau tersenyum menatapku.
"Masih merah, Mas?"
"Hah?"
"Mata Nunik?"
"Gak!"
"Mas bohong?"
"Iya!"
Kau tertawa. Aku menghilang temui Amak sekaligus pamit. Berdua, tinggalkan rumah. Seberangi jalan. Menunggu angkot jingga jurusan Tabarenah. Butuh waktu. Hingga kau dan aku hentikan angkot menuju rumah Teteh.
Tak ada penumpang lain di angkot jingga. Aku terkejut. Saat tanganmu rengkuh lenganku.
"Masih marah?"
"Hah?"
"Karena Nunik..."
"Gak usah bahas! Nanti nangis lagi!"
"Malam tadi. Mamak nanya Mas!"
"Tentang?"
"Semuanya!"
"Komentar Mamak?"
"Terserah Nunik!"
Aku menatapmu. Kau tersenyum. Tak kau alihkan wajahmu dari sorot mataku.
"Tapi Mamak belum cerita ke Ayah!"
"Mungkin butuh waktu! Biar dulu!"
"Bukan! Nunik yang minta!"
"Hah?"
"Nik mau cerita sendiri ke Ayah!"
"Eh?"
"Libur awal puasa. Nunik Pulang ke Muara Aman!"
"Minggu depan, kan?"
"Iya!"
"Jangan paksa. Kalau belum..."
"Nik tak takut hidup dengan Mas!"
get married | those three words | just the way I am | meeting you was fate
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H