Aku terdiam. Nyaris sembilan tahun kutunggu nyalimu. Agar aku bisa mengenal keluargamu. Tak lagi sekedar cerita atau foto milikmu. Acapkali tanyaku. Picu tangismu.Tapi sejak lama, kuputuskan tak lagi kutanyakan. Jika itu syaratmu, ketika memulai hubungan.
Siang itu. Kau ujarkan padaku, jika Mamak sudah tahu. Tentang kau dan aku.
"Udah empat bulan, kan?"
"Iya!"
"Karena cincin itu?"
"Iya! Mamak lihat jari Nunik!"
Kau menahan tawamu. Tak ada resahmu, akibat pesanku. Jika kau lepas, bermakna selesai. Akupun mengerti. Tak bisa jarimu sembunyi dari Mamak.
"Terus?"
"Apa?"
"Tanggapan Mamak?"
Kau ambil gelas berkopi. Aku menatapmu menunggu. Kau ajukan gelas padaku. Seraya tersenyum. Kureguk isi gelas. Aku tahu. Kau tak mau jawab tanyaku. Kunyalakan lagi sebatang rokok.
"Mamak sekarang di rumah Teteh, Mas!"
"Hah! Kapan sampai? Sendiri?"
"Kemarin! Iya, sendiri."
"Nik udah ketemu?"
"Tadi malam Nik nginap. Pagi balik lagi ke Perumnas. Nik lupa bawa! Baju ngajar di rumah Uda!"
Kuusap kepalamu. Aku tahu juga mengerti kondisimu. Sejak di Curup. Kadang kau tinggal di rumah Uda di perumnas. Bisa juga tempat Teteh di Tunas Harapan. Perlahan, kau tundukkan wajahmu. Aku tahu tanda itu. Tak kubiarkan.
"Ayah sehat?"
"Iya!"
"Kakak?"
Tak ada suaramu. Hanya anggukan kecil, pengganti jawabmu. Aku gagal! Bulir bening itu luruh dalam diammu. Kukira, sejak tadi tertahan. Kau raih tanganku. Hempaskan resahmu di punggung tanganku. Pilihanku cuma satu. Diam, dan ikuti alur rasamu.
Siang itu. Jarum pendek beranjak ke angka dua. Butuh waktu benahi rasamu. Segera bangkit dari dudukmu. Kau melangkah ke dapur. Tak lama. Kau kembali ke ruang tamu. Duduk di sampingku.
Aku tersenyum mengerti. Waktumu segera pulang. Tapi belum ada tanda. Kau ingin beranjak pergi.
"Sholat?"
"Udah!"
"Kenapa cuci muka?"
"Biar segar!"
"Mau pulang?"
"Nik mau ke rumah Teteh! Mamak besok pulang ke Muara Aman!"
"Mas boleh ikut?"
Terdiam. Kau sandarkan tubuhmu ke kursi tamu. Sesaat kau menatapku. Kemudian menunduk. Sambil tersenyum. Kuacak kepalamu. Kau angkat wajahmu.
"Gak usah dipikir!"
"Mas..."
"Mamak melarang?"
"Gak!"
"Mamak gak suka kalau Mas jadi..."
"Bukan!"
"Terus?"
"Nik takut! Jadi beban, kalau Mamas..."
Akhirnya, aku mengerti. alasanmu tak mau cerita padaku. Beningmu kembali hadir.
Empat bulan kau simpan resahmu. Jika Mamak sudah tahu tentang kau dan aku. Juga fahami alur pikirmu lakukan itu. Perlahan kusapu mata air matamu. Kuusap pelan kepalamu.
"Airmata ini, karena itu?"
get married | those three words | just the way I am | meeting you was fate
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H