Kau masih berdiri. Menatapku dan menunggu. Kuanggukkan kepala. Kau ambil gelas berampas kopi. Kau bawa ke dalam rumah. Keluar dari pintu. Wajahmu memerah. Aku menatapmu.
"Kenapa?"
"Gak ada!"
"Mirip udang rebus?"
"Haha...."
"Udah pamit?"
"Gegara itu!"
"Ibu kost bilang apa?"
"Pergi, yuk!"
Kau tundukkan wajah. Tanganmu menarik lenganku. Agar segera pergi. Dan, berubah jadi cubitan saat aku menatapmu. Keluar dari pintu pagar. Aku berhenti. Berdiri di hadapmu.
"Kemana?"
"Mas yang ajak, kan?"
"Nik mau ke..."
"Terserah! Nik ikut Mas!"
Itu khasmu. Kuacak kepalamu. Kau tersenyum. Kuarahkan langkah ke arah kanan. Kau di sisiku. Ikuti jalur keluar jalan Cendrawasih. Matahari pagi, mulai tunjukkan kuasa. Kuraih tanganmu saat seberangi jalan. Sesaat menunggu di Simpang Tunggul Hitam. Kuhentikan bis kota. Kau dan aku segera naiki. Duduk bersisian.
Bis kota bergerak lambat. Sesaat berhenti di Minang Plaza. Kemudian lintasi jembatan. Berbelok ke kiri. Mulai lalui Jalan Khatib Sulaiman. Penumpang pagi itu sepi. Pun tak ada musik dari speaker bis kota. Kau sandarkan tubuhmu. Di sisi jendela. Tanganmu memegang tanganku.
"Ke Unand, mau?"
"Pasti ngantin!"
"Haha..."
"Mas rindu kantin?"
"Gak!"
"Terus?"
"Napak tilas! Mau, kan?"
"Hah?"
Kuanggukkan kepala. Kau menatapku. Tapi diam, segera lemparkan pandang keluar jendela. Bis kota sudah lintasi jembatan di dekat GOR Agus Salim. Sesaat lagi, lalui jalan Sudirman. Kau ubah posisi dudukmu. Kali ini, tanganmu merengkuh lenganku. Aku tertawa. Kau tundukkan wajahmu. Malu. Tapi tak kau lepas rengkuhmu.
Kuhentikan bis kota di halte. Seberang Kantor Bank Indonesia. Kau dan aku bertukar kendaraan. Bis kampus warna ungu dan biru sudah menunggu. Kau dan aku duduk di bangku belakang. Ahirnya tertawa, saat berulang kali irama klakson dibunyikan. Aku hafal nada itu. Dari kaca spion sopir, wajah temanku tertawa lebar. Kuangkat tangan kanan. Bus kampus bergerak tinggalkan halte.
Tak kukenal kondekturnya. Tapi, anggukkan kepala melewatiku. Menolak saat kuajukan ongkos. Kukira, aturan pertemanan masih berlaku. Walau enam bulan, kutinggalkan Kota Padang. Kau gelengkan kepala. Aku tersenyum angkat bahu.
Bis kampus lewati RS. M Jamil. Berbelok ke kiri. Segera menuju Anduring. Kau terkejut. Saat aku berdiri. Bergerak ke pintu depan. Keluarkan rokok, kuserahkan pada kondektur. Sedikit ragu kondektur menatapku.
"Ambil ini!"
"Gak, Bang! Makasih!"
"Merokok, kan?"
"Iya!"
"Ambil atau aku..."
Klakson bis berbunyi lagi. Mata sopir bis perhatikan ulahku. Kuajukan kepal tanganku. Sopir tertawa, sambil anggukkan kepala. Sedikit sungkan, kondektur menerima rokok. Aku tertawa.
"Tinggal setengah bungkus!"
"Makasih, Bang!"
"Nanti aja, merokoknya!"
"Iya, Bang!"
"Udah lama ikut?"
"Baru sebulan!"
"Wajah sopirmu jelek! Tapi dia orang baik!"
Nyaris berteriak. Sengaja kutinggikan suara. Sekilas menepuk bahu kondektur. Aku tertawa. Di iringi klaskson bus. Beberapa penumpang melirik padaku. Aku bergerak dan segera duduk di sisimu. Kau geleng kepala. Akibat ulahku, kau jadi pusat perhatian seisi bus.
"Aneh! Kok bisa bertemu terus ya, Mas?"
"Haha..."
"Padahal gak janjian, kan?"
"Tanda direstui Tuhan!"
"Maksudnya?"
"Mas sukar percaya kebetulan!"
"Oh!"
"Termasuk kita!"
get married | a man of the world | just for you | those three words | just the way I am
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI