Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar dari The Founders, Kompromi antara Tradisionalis dan Konstitusionalis

21 September 2019   12:51 Diperbarui: 21 September 2019   13:07 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by pixabay.com

Yang memacu dan memicu adanya pengakuan akan keberadaan mereka untuk melakukan ragam keinginan dengan cara mereka. Krisis identitas dan krisis eksistensi ini, pada akhirnya bermuara pada pengabaian. Mungkin tidak pada personal orangtua, walaupun kemungkinan itu tetap ada. Tapi kecenderungan terbesar adalah orangtua, bukan lagi patron mereka.

Sebaliknya, orangtua yang berusaha menghimpun segala upaya. Agar anak bisa lebih baik atau setidaknya tak mengalami kegetiran pengalaman mereka. Menganggap si anak sebagai pembangkang, tak tahu diri atau malah dianggap durhaka bak Malin Kundang!

Akan hadir kekecewaan dan pupus harapan, dan terpaksa menyaksikan kerikil tajam dan rumput ilalang yang selama ini disembunyikan. Akhirnya dibiarkan menyentuh dan mendera si anak. Walau masih tersisa asa, suatu saat anak menyadari jika pilihan jalan mereka adalah keliru.

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com

Bagaimana Jika Orangtua Itu adalah The Founder dan Anak adalah Negara?

Sejarah Indonesia hari ini, tak terlepas dari proses kelahirannya 74 tahun lalu. Dan, alur itupun tak mungkin terpisahkan dari latar belakang setiap pribadi para pendirinya yang dianggap pemimpin pada masa itu.

Ada dua kutub berbeda pada pendekatan yang dilakukan The Fouders saat proses kelahiran Indonesia. Indonesianis Herbert Feith, membaginya pada tipe solidarity maker dan administrator. Ignas Kleden memperluasnya dengan sebutan tipe Tradisionalis dan tipe Konstitusionalis. Di mana, pemimpin politik pada saat itu, dipaksa berdiri di persimpangan jalan untuk meraih dan mendapat dukungan. (Tempo, edisi khusus 17 Agustus 2007)

Seorang pemimpin tradisionalis, sangat paham bahwa menjelang kemerdekaan itu, sebagian besar rakyat Indonesia masih hidup dalam tradisi komunitas masing-masing. Walau ada beberapa kasus "pengingkaran" dari tradisi, semisal membolehkan anak bersekolah (agar semisal tak lagi menjadi petani atau nelayan).

Namun, pedoman utama mereka tetaplah nilai-nilai tradisional. Lebih mendengarkan petuah orangtua mereka saat mengambil keputusan, dimabndingkan mencoba mengambil keputusan sendiri. Lebih terikat pada kelompok daripada mencari jalan sendiri, karena berakibat akan dipinggirkan bahkan terusir dari kelompok.

Maka, pemimpin tradisionalis akan bersikap akomodatif terhadap sikap dan prilaku kaum tradisional. Agar mudah dipahami dan cepat mendapat dukungan mereka. Massa harus ditarik hatinya, digelorakan semangatnya, memahami alam pikiran mereka dan melontarkan jargon-jargon sesuai alur nalar mereka. Memainkan simbol-simbol  tradisional adalah cara ampuh memenangkan dukungan dengan daya pukau poetics of power.

Sedangkan pemimpin konstitusionalis, memiliki keinginan mendidik rakyatnya untuk terbuka kepada pemikiran alternatif dan nilai-nilai baru yang dibutuhkan dalam sebuah Negara modern. Namun, pendidikan tentu saja membutuhkan waktu yang lama, kan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun